Oleh :
Harry
Kusuma, S.IP
Penyelenggaraan pemerintahan daerah memasuki era
baru ketika UU no 32 tahun 2004 digantikan dengan UU no 23 tahun 2014. Era baru
penyelenggaraan pemerintahan daerah dapat kita lihat dari perbedaan yuridis
maupun filosofis. Perbedaan yuridis tertuang dalam bentuk pasal-pasal yang
mengatur hal-hal yang tidak diatur dalam UU sebelumnya. Sedangkan perbedaan
filosofis terlihat dari makna dan orientasi yang secara tersurat terkandung
dalam pasal-pasal yang sebelumnya tak diatur dalam UU sebelumnya.
Perbedaan secara yuridis, sangat terlihat dengan
tidak adanya pasal-pasal yang mengatur tentang penyelenggaraan pemilihan kepala
daerah. Perihal pemilihan daerah telah diatur dalam UU no 22 tahun 2014. Adapun
alasan utama yang tecantum dalam naskah akademik RUU Pilkada dimaksudkan untuk agar
UU baik tentang Pemda maupu Pilkada dapat berjalan secara maksimal sesuai
dengan isu sentralnya masing-masing. Selain itu, dalam pemisahan
penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pilkada dimaksudkan untuk mempertegas
posisi dan perbedaan Gubernur dan Walikota/Bupati.
Hal ini dikarenakan Gubernur yang dipilih melalui
mekanisme pemilihan langsung. Namun, secara sepihak dikooptasi dengan
menempatkan Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat. Dalam perspektif akademis
posisi Gubernur dapat dikategorikan sebagai “unit antara”. Ciri khas dari “unit
antara” dalam penyelenggaraan pemerintahannya bersinggungan dengan kegiatan
dekonsentrasi daripada desentralisasi. Dengan demikian, Gubernur yang dipilih
langsung oleh rakyat, kewewenangannya “terkebiri” karena status gandanya yang
juga sebagai wakil pemerintah pusat. Berbeda dengan Walikota dan Bupati yang
sama-sama dipilih oleh rakyat tapi statusnya sebagai daerah otonom yang
mengedepankan prinsip atau azas desentralisasi. Disinilah urgensi pemisahan
penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pemilihan pilkada mejadi dua UU yang
berbeda.
Perbedaan selanjutnya perihal pembagian urusan
pemerintahan. Pada UU sebelumnya urusan pemerintahan dibagi atas Urusan yang
menjadi kewenangan Pemerintah Pusat (dapat dilimpahkan sebagian urusannya
kepada perangkat Pemerintah Pusat atau wakil Pemerintah Pusat di daerah atau dapat menugaskan kepada pemerintahan
daerah) dan Urusan pemerintah daerah dibagi atas urusan wajib dan pilihan.
Namun, di UU no 23 tahun 2014, urusan pemerintahan dibagi atas Urusan Absolut
yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat, Urusan pemerintahan kongkruen yang
dibagi antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota.
Dalam naskah
akademik RUU Pemda tahun 2011 dijelaskan bahwasanya mengacu kepada ketiga
kriteria tersebut, pembagian urusan pemerintahan menjadi sebagai berikut:
- Pemerintah Pusat mempunyai kewenangan untuk membuat pengaturan
dalam bentuk Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) yang dijadikan
acuan bagi pemerintahan daerah provinsi, kabupaten/kota untuk melaksanakan
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah tersebut; berwenang
melakukan monitoring, evaluasi dan supervise terhadap pemerintahan daerah,
dan berwenang untuk melakukan urusan pemerintahan yang berskala nasional
(lintas provinsi) atau internasional (lintas negara).
- Pemerintahan daerah provinsi mempunyai kewenangan untuk mengatur
dan mengurus urusan pemerintahan yang berskala provinsi (lintas
kabupaten/kota) berdasarkan NSPK yang ditetapkan Pemerintah Pusat.
- Pemerintahan daerah kabupaten/kota berwenang untuk mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan yang berskala kabupaten/kota berdasarkan NSPK
yang ditetapkan Pemerintah Pusat.
Selain itu
Pemerintah Pusat diwajibkan menyelesaikan penetapan NSPK tersebut dalam waktu
dua tahun dan apabila dalam waktu dua tahun Pemerintah Pusat belum juga menetapkan
NSPK untuk dijadikan acuan bagi pemerintahan daerah untuk melaksanakan urusan
pemerintahan yang diserahkan ke daerah, maka pemerintahan daerah dapat menetapkan
peraturan daerah (perda) untuk melaksanakan urusan yang menjadi kewenangannya.
Fungsi lainnya dari NSPK adalah mengatur hubungan antar tingkatan dan susunan pemerintahan
yaitu antara pusat dan daerah dan antar pemerintahan daerah dalam pelaksanaan
suatu urusan (naskah akademik RUU Pemda hal 8-9, 2011).
Adapun yang
menjadi titik permasalahan dalam pembagian urusan yang menjadi kewenangan
pemerintah daerah yang terlalu banyak (31 buah urusan yang menajdi urusan
pemerintahan yang didesentralisasikan). Selain itu, pemerintah daerah dari Provinsi hingga Desa juga dibebankan
untuk melaksanakan urusan Pemerintah Pusat berdasarkan azas tugas pembantuan.
Dengan besarnya
urusan pemerintahan yang harus dilaksanakan oleh pemerintah daerah, kebutuhan
akan aparatur yang melaksanakan urusan wajib tersebut semakin membesar.
Aparatur daerah yang gemuk ini, tentunya membutuhkan biaya yang sangat besar
pula sehingga terjadi overcost
terhadap pembiayaan aparatur. Kondisi ini berdampak tidak maksimalnya
penyelenggaran program di daerah khususnya pada aspek pengadaan sarana dan
prasarana yang diperuntukkan bagi masyarakat.
Selain itu,
efek samping dari gemuknya aparatur di daerah, dan diparah dengan alur
birokrasi yang kacau, telah melahirkan birokrasi yang tidak efektif dan
efisien. dalam New Public Management (NPM), yang sekarang ini menjadi gerakan pembaharuan administrasi publik di negara
maju dan berkembang, desentralisasi telah menjadi
satu nilai penting dalam
rangka mewujudkan pemerintahan yang
efisien, efektif, responsif,
dan akuntabel.
Maka dari itu,
dalam UU no 23 tahun 2014, Urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh
pemerintah daerah dibedakan atas dua jenis. Termaktub dalam Pasal 9 (1)
Urusan Pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan absolut, urusan
pemerintahan konkuren, dan urusan pemerintahan umum, ; (2) Urusan
pemerintahan absolut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Urusan
Pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat, ; (3)
Urusan pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Urusan
Pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah
kabupaten/kota, ; (4) Urusan pemerintahan konkuren yang diserahkan ke
Daerah menjadi dasar pelaksanaan Otonomi Daerah, ; (5) Urusan pemerintahan
umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Urusan Pemerintahan yang menjadi
kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan.
Urusan
pemerintah absolut sebagaimana dijelaskan dalam pasal 10 ayat 1, terdiri atas
Politik LN, Hankam, yustisi, moneter dan fiskal serta agama. Namun, Pemerintah
Pusat dalam melimpahkan kewenangannya kepada instansi vertikal dan wakil
pemerintah pusat di daerah yakni Gubernur yang berdasarkan asas dekonsentrasi.
Dengan demikian, urusan pemerintah absolut memang menjadi kewenangan Pemerintah
Pusat dan tak berkaitan dengan pemerintah kota dan kabupaten yang mengedepankan
azas desentralisasi serta bukan perwakilan pemerintah pusat.
Selain itu,
untuk memaksimalkan kinerja penyelenggaraan pemerintah daerah baik Gubernur selaku
wakil Pemerintah Pusat dan pemerintah kota serta kabupaten, telah dibedakan
menjadi dua jenis urusan konkuren yakni urusan pemerintah wajib dan urusan
pilihan. Untuk urusan wajib pun dibagi dua lagi yakni urusan wajib yang
berkaitan dengan pelayanan dasar dan yang tidak berkaitan dengan pelayanan
dasar. Urusan wajib ini pun, secara yuridis diatur dengan menggunakan skala
prioritas bahwa urusan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar
diprioritaskan pelaksanaannya sebagaimana diatur dalam pasal 18 ayat 1.
Adanya
penyertaan skala prioritas dalam penyelenggaraan urusan wajib yang berkaitan
dengan pelayanan dasar agar dimaksudkan otonomi luas bukan lagi diartikan semua
urusan harus dilembagakan. Akan tetapi fungsinya tetap menjadi domain
kewenangan daerah namun tidak harus dilembagakan tersendiri karena akan memicu bengkaknya
overhead cost. Diperlukan pemikiran untuk menerapkan kelembagaan yang ”right
sizing” yang bercirikan ramping struktur namun kaya fungsi.
Pembagian wilayah kerja antara Pemerintah Pusat,
Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota pun dijelaskan secara
spesifik dalam UU ini seperti yang termaktub dalam pasal 13 ayat 2, 3 dan 4.
Hal ini dimaksudkan untuk memaksimalkan penyelenggaraan pemerintahan
berdasarkan wewenangnya masing-masing serta meningkatkan tingkat akuntabilias
dan efisiensi dalam mengukur keberbehasilan. Selain itu, pembagian wilayah
kerja ini juga ditujukan untuk
memudahkan jalur birokrasi yang kelak akan mempermudah pemerintah baik pusat
maupun daerah dalam melayani masyarakat.
Dalam urusan pemerintahan umum, juga diatur secara
spesifik yang meliputi 7 bidang utama
dan termasuk bidang yang bukan kewenangan daerah dan tidak dilaksanakan oleh
Instansi Vertikal. Urusan pemerintahan umum ini dilaksanakan oleh Gubernur dan
Bupati/Walikota di wilayah kerjanya masing-masing. Yang patut dicatat disini
adalah penggunaan APBN dalam penyelenggaraan pemerintahan umum. Hal in
dimaksudkan agar APBD di masing-masing pemerintah daerah dapat digunakan untuk
melaksanakan urusan konkuren yang pelayanan dasar. Disinilah terlihat komitmen
Pemerintah Pusat, untuk menghindari beban berlebih yang harus ditanggung APBD
dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Sinergi
penyelenggaraan urusan pemerintahan antara kementerian dengan pemerintahan
daerah, Presiden melimpahkan kewenangan kepada Menteri Dalam Negeri untuk bertindak
selaku kordinator dari kementerian atau lembaga pemerintah non kementerian yang
sebagian urusannya diserahkan ke daerah (Naskah Akademik RUU Pemda, hal 77, 2011).
Kementerian yang kewenangannya diserahkan kepada daerah berkewajiban untuk
melakukan pembinaan dan pengawasan yang bersifat teknis kepada pemerintahan
daerah, sedangkan Kementerian Dalam Negeri melaksanakan pembinaan dan
pengawasan yang bersifat umum. Mekanisme tersebut diharapkan mampu menciptakan harmonisasi
dan sinergi antara Pemerintah Pusat dengan pemerintahan daerah dalam penyelenggaraan
urusan pemerintahan secara keseluruhan.
Dalam
melaksanakan urusan pemerintahan umum tersebut, untuk kelancaran kordinasi
dengan seluruh pimpinan instansi pemerintahan di daerah, dapat dibentuk Forum Koordinasi
Pimpinan Pemerintahan di Daerah dan kepala daerah selaku kepala pemerintahan
daerah bertindak sebagai koordinatornya sebagaimana diatur dalam pasal 26. Karena
urusan pemerintahan umum merupakan urusan pemerintahan yang tidak di
desentralisasikan, maka biaya penyelenggaraan urusan pemerintahan umum tersebut
di daerah menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat.
Sebagai Negara yang bercirikan kepulauan, dalam UU
ini juga mengakomodasi daerah yang bercirikan kepulauan dan diatur dalam Bab V
tentang Kewenangan Daerah Provinsi Di Laut dan Daerah Provinsi yang Bercirikan
Kepulauan. Realitas daerah yang memiliki ciri khas kepulauan adalah tidak
meratanya sarana dan prasarana yang memadai untuk menunjang penyelenggaraan
pemerintahan sehingga pembangunan dan penciptaan kesejahteraan bagi masyarakat
yang hidup di daerah kepulauan masih jauh dari harapan. Maka dari itu,
pemerintah daerah yang bercirikan kepulauan haruslah memiliki model pembangunan
yang berbeda dengan pada umumnya, model pelayanan administrasi/pelayanan publik
yang berbasis kepulauan, dan meningkatkan intensitas pembangunan
sarana-prasarana yang mengedepankan pendekatan prosperity dan security
secara linier.
Dalam UU no 23 tahun 2014, daerah yang bercirikan
kepulauan diberikan semacam insentif dan perlakuan secara khusus seperti yang
tercantum dalam pasal 28 hingga 30. Ini merupakan bentuk komitmen yang
ditunjukkan Pemerintah Pusat dalam membangun daerah bercirikan kepulauan.
Tentunya, dalam pelaksanaannya komitmen ini haruslah dijalankan secara konsekuen
dan perlu diberikan pengawasan yang ketat agar permasalahan yang dihadapi
masyakarat yang tinggal di daerah kepulauan dalam selesaikan.
Undang-Undang ini juga menjelaskan bahwasanya
Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat, diatur lebih spesifik seperti yang
diatur dalam pasal 91-93. Adapun tugas
tersebut melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan Tugas
Pembantuan di Kabupaten/Kota, melakukan monev dan supervisi, melakukan evaluasi
APBD dan lain-lain, dapat membatalkan Perda dan memberikan persetujuan terhadap
Raperda Kabupaten/Kota, serta dapat memberikan sanksi kepada Bupati/Walikota.
Gubernur
memegang dua peran yaitu sebagai kepala daerah otonom provinsi dan sebagai
wakil Pemerintah Pusat di daerah. Sebagai kepala daerah provinsi, gubernur memegang
kewenangan memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah provinsi sesuai dengan
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi. Sedangkan sebagai wakil
Pemerintah Pusat di daerah, gubernur menjalankan peran Pemerintah Pusat
melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pemerintahan daerah kabupaten/kota.
Dalam konteks melaksanakan peran sebagai wakil Pemerintah Pusat, hubungan
gubernur dengan pemerintahan daerah kabupaten/kota bersifat hirarkhis (Naskah
Akademik RUU Pemda, hal 85, 2011).
Dengan luas dan besarnya kewenangan Gubernur
sebagai wakil pemerintah pusat, diharapkan dapat meminimalisir kekuasaan
“Raja-Raja Kecil” yang menerapkan oligarki politik. Upaya ini ditujukan agar
penyelenggaraan pemerintahan jauh lebih bersih, akuntabel, efektif-efisien, dan
mampu memberikan pelayanan publik bagi masyarakat.
Semangat dari UU no 23 Tahun 2014 ini adalah
memaksimalkan peranan pemerintah daerah yang mampu melaksanakan kewenangannya
yang berorientasi pelayanan dasar bukan kekuasaan semata. Dengan kondisi
tersebut, mau tidak mau, peran serta masyakarat dalam hal pengawasan terhadap
penyelenggaraan pemerintahan yang berbasis pelayanan publik.
Bentuk manifestasi dari semangat pembaharuan
secara yuridis termaktub dalam BAB XIII tentang Pelayanan Publik. Dalam bab ini
dibahas tentang upaya pemerintah daerah dalam memenuhi kebutuhan masyakarat
sebagai bentuk pelayanan publik. Dengan demikian, masyarakat mampu memberikan feedback terhadap pelayanan publik yang diberikan oleh
pemerintah daerah. Maka dari itu, dalam UU ini juga diatur tentang Partisipasi
Masyarakat di Bab XV.
Partisipasi masyarakat ditujukan untuk mendorong
dan meningkatkan tingkat kesadaran masyarakat terhadap penyelenggaraan
pelayanaan publik yang diberikan oleh pemerintah daerah. Hal ini tentunya akan
menjadi katalisator bagi pemerintah daerah untuk memberikan pelayanan publik
yang terbaik.
Keberadaan UU no 23 tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah ini harapannya mampu
memperbaiki sstem penyelenggaraan pemerintahan daerah. Selain itu, perubahan
orientasi dari kekuasaan semata menjadi pelayanan publik seharusnya mampu
mendorong adanya peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah.
UU ini telah mengkebiri kesejahteraan daerah kabupaten.. Buruk sekali dalam transisinya apalagi pelaksanaannya.. Kabupaten yg sungguh dirugikan karena setiap kebijakan yg dibuat oleh pusat dan prov masy dikab yg merasakan dmpk lnsung.
BalasHapusmakasih buat postinganya,, klik juga di sini.. http://law.uii.ac.id/berita-hukum/tambah-baru/uud-1945-hasil-amandemen-masih-menyisakan-problem-ketatanegaraan.html
BalasHapusUU no. 23/2014 ttg pemerintahan daerah saya pastikan memperlambat laju pembangunan infrstruktur di daearh, sebagai pembanding era ordebaru dan setelah otonomi daerah berjalan,semua kabupaten tdk dipungkiri banyak yang berhasil memajukan daeranya
BalasHapus