Halaman

Kamis, 11 Desember 2014

Review UU No 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah

Oleh :
Harry Kusuma, S.IP

Penyelenggaraan pemerintahan daerah memasuki era baru ketika UU no 32 tahun 2004 digantikan dengan UU no 23 tahun 2014. Era baru penyelenggaraan pemerintahan daerah dapat kita lihat dari perbedaan yuridis maupun filosofis. Perbedaan yuridis tertuang dalam bentuk pasal-pasal yang mengatur hal-hal yang tidak diatur dalam UU sebelumnya. Sedangkan perbedaan filosofis terlihat dari makna dan orientasi yang secara tersurat terkandung dalam pasal-pasal yang sebelumnya tak diatur dalam UU sebelumnya.

Perbedaan secara yuridis, sangat terlihat dengan tidak adanya pasal-pasal yang mengatur tentang penyelenggaraan pemilihan kepala daerah. Perihal pemilihan daerah telah diatur dalam UU no 22 tahun 2014. Adapun alasan utama yang tecantum dalam naskah akademik RUU Pilkada dimaksudkan untuk agar UU baik tentang Pemda maupu Pilkada dapat berjalan secara maksimal sesuai dengan isu sentralnya masing-masing. Selain itu, dalam pemisahan penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pilkada dimaksudkan untuk mempertegas posisi dan perbedaan Gubernur dan Walikota/Bupati.

Hal ini dikarenakan Gubernur yang dipilih melalui mekanisme pemilihan langsung. Namun, secara sepihak dikooptasi dengan menempatkan Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat. Dalam perspektif akademis posisi Gubernur dapat dikategorikan sebagai “unit antara”. Ciri khas dari “unit antara” dalam penyelenggaraan pemerintahannya bersinggungan dengan kegiatan dekonsentrasi daripada desentralisasi. Dengan demikian, Gubernur yang dipilih langsung oleh rakyat, kewewenangannya “terkebiri” karena status gandanya yang juga sebagai wakil pemerintah pusat. Berbeda dengan Walikota dan Bupati yang sama-sama dipilih oleh rakyat tapi statusnya sebagai daerah otonom yang mengedepankan prinsip atau azas desentralisasi. Disinilah urgensi pemisahan penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pemilihan pilkada mejadi dua UU yang berbeda.

Kamis, 28 Agustus 2014

PEMUDA DAN PENDIDIKAN


Oleh: Harry Kusuma*

Abstract
"Pendidikan menjadi salah satu syarat sekaligus indikator maju atau terbelakangnya suatu negara. Dengan melihat kondisi umum pendidikan suatu negara, atau dalam hal ini Indonesia. Kita dapat melihat bagaimana proyeksi dan persoalan umum yang akan dan sedang dihadapi. Maka, Pemuda sebagai salah satu entitas yang terbesar dan penggerak suatu negara, tentunya harus dilihat kualitas yang dimilikinya dengan mengetahui pendidikan yang dienyamnya"

Keyword : Pendidikan, Pemuda, Anggaran, Solusi

Indonesia yang sebagai negara besar dapat kita ketahui dengan jumlah penduduk yang mencapai lebih dari 235 juta jiwa. Dari 235 juta jiwa, diantaranya terdapat golongan pemuda yang berjumlah 64 juta jiwa lebih (BPS, 2010). Dengan melihat kondisi tenaga kerja kita yang cukup besar, tentunya negeri ini memiliki potensi untuk mengarah pada hal yang lebih positif dan konstruktif. Pastinya hal ini didukung dengan tersedia sarana dan prasarana seperti dalam bidang pendidikan yang cukup mumpuni untuk membentuk karakter pemuda Indonesia lebih produktif.

Selain didukung dengan jumlah pemuda yang potensial dari segi jumlah, Indonesia juga memiliki kekayaan alam yang melimpah ruah baik dalam bidang ektraktif atau pertambangan, kehutanan, pertanian, perkebunan dan kelautan. Hasil dari pengolahan kekayaan alam tersebut menjadi modal bagi negeri untuk membangun pemuda Indonesia yang memiliki kemampuan dan keahlian diberbagai bidang. Sebagai usaha memanfaatkan dan mengolah sumber daya alam yang dimiliki oleh negeri ini sudah seharusnya didukung oleh kualitas pemuda Indonesia.

Namun, jika berkaca dengan kondisi pemuda Indonesia yang sebagian besar lulusan SMA sederajat. Hal ini dapat kita ketahui dengan rendahnya pemuda Indonesia yang merupakan lulusan diploma dan sarjana hanya sebesar 7,8 juta jiwa (BPS, 2010). Selain itu, hingga hari ini setiap tahun hanya 18% siswa lulusan SMA sederajat yang melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi. Hal ini tergambar dengan jumlah mahasiswa di Indonesia yang hanya mencapai 4,7 juta jiwa saja. Padahal pemuda Indonesia berdasarkan usia yang seharusnya mengenyam perguruan tinggi sebesar 51 juta jiwa lebih (BPS, 2010).

Dengan melihat akses pendidikan yang masih melahirkan gap yang sangat besar antara lulusan SMA yang mampu melanjutkan hingga pendidikan tinggi dengan yang tidak mampu melanjutkan ke pendidikan tinggi. Kenyataan sosial ini merupakan persoalan negeri ini untuk segera dipecahkan oleh pemerintah. Hal ini dikarenakan perkembangan dan kemajuan suatu bangsa berbanding lurus dengan kualitas pendidikan yang diselenggarakan oleh suatu negara. Maka untuk menciptakan suatu pendidikan yang berkualitas. Sudah barang tentu memiliki syarat-syarat untuk mewujudkan hal tersebut. Syarat-syarat tersebut diantaranya tersedia anggaran untuk pendidikan yang digunakan meningkatkan akses pendidikan, menyediakan sarana dan prasarana yang mendukung pendidikan serta membiayai kebutuhan operasional lainnya. Selain anggaran untuk pendidikan, juga dibutuhkan suatu paradigma dan orientasi pendidikan yang tergambar dari kurikulum pendidikan itu sendiri. Untuk mendukung suatu paradigma dan orientasi pendidikan yang mampu menciptakan output pendidikan yang berkualitas tentunya harus didukung dengan adanya tenaga pendidik yang kompeten.

Kamis, 12 Desember 2013

Tanya yang Tak Bisa Aku Jawab




Oleh: Harry Kusuma

Namaku Andi Wibowo dan biasa dipanggil Andi. Aku sekarang menjadi siswa kelas 3 semester di SMA negeri di daerah Pangalengan. Aku berasal dari keluarga cukup sederhana, aku anak pertama dari dua bersaudara. Adikku bernama Ella Ningsih atau biasa dipanggil Ella. Ayahku seorang guru di sekolah menengah pertama swasta di daerah Pangalengan, sedangkan ibuku seorang  karyawan biasa di pabrik teh milik PT PN VIII. Ayah dan ibu merupakan pekerja yang giat dan bertanggung jawab.

Sepengetahuanku, beliau sangat jarang sekali absen ataupun bolos jika tidak ada hal yang benar-benar penting hingga memaksa beliau untuk izin. Ella, adikku sekarang duduk di bangku SMP kelas 2. Ayah dan ibuku selalu membemberikan nasihat kepadaku agar aku menjadi orang yang berguna bagi keluarga, masyarakat, agama, bangsa dan negara.

Minggu, 01 Desember 2013

HIGHER EDUCATION AND WORLD ‘TRASH’ ORGANIZATION


Oleh : Harry Kusuma
Abstrak
Dengan jumlah penduduk yang sangat besar Indonesia menjadi mangsa yang sangat empuk untuk dijadikan alat bagi Imperialis AS dalam mengeruk profit yang sangat besar di sektor penyelenggaraan pendidikan tinggi. Dengan menggunakan WTO yang mengikat negara-negara seperti Indonesia untuk menuruti setiap hasil kebijakan WTO. Hal ini ditandai dengan dilaksanakannya konsep liberalisasi dalam penyelenggaran pendidikan tinggi di Indonesia. Konsep liberalisasi ini menjadi dasar pijakan pemerintahan dalam negeri Indonesia untuk menghasilkan kebijakan yang sesuai dengan keputusan WTO. Maka, dampak yang nyata dan dirasakan oleh jutaan rakyat Indonesia dari kebijakan ini adalah semakin parahnya praktek komersialisasi pendidikan tinggi.
Kata Kunci : Imperialis AS, WTO, Liberalisasi, Komersialiasi Pendidikan Tinggi, Kuliah Mahal

Dominasi Era Imperialisme AS
Imperialisme AS selaku negeri pemenang PD II dimana Industri-Industri tak terkena dampak kehancuran secara fisik (tidak seperti negeri eropa barat seperti Inggris, Eropa, Italia, Jerman, Belanda, dll) mampu mendikte dunia baik secara ekonomi, politik, budaya, dan militer. Secara ekonomi, Imperalis AS menjadi pusat dan indikator pertumbuhan ekonomi dunia, karena para kapitalis monopoli atas dan oligarki financial AS telah melakukan infiltrasi terhadap seluruh sendi-sendi kehidupan ekonomi dunia dengan cara memonopoli pasar, dan bahan baku industri serta melakukan ekspor kapital secara besar-besaran dalam bentuk investasi, dan hutang.
Dominasi ekonomi ni ditandai dengan adanya Bretton Woods System atau biasa disebut BWS ini memberikan framework atau kerangka dalam hal keuangan yang merupakan lompatan besar bagi perusahaan investasi Amerika yang berada di luar negeri, selain itu Bretton Woods System juga menyediakan World Bank untuk memberikan kontribusinya dalam penyebaran investasi asing. Dan dalam hal ini, Amerika tampak mendominasi investasi asing dan itu berawal dari berakhirnya Perang Dunia II. Kemudian faktor yang kedua adalah adanya Marshall Plan, adanya Marshall Plan ini menciptakan kemakmuran dan pengembangan ekonomi yang dilakukan di Eropa, dan pengembangan ekonomi ini merupakan upaya untuk membangkitkan Eropa paska Perang Dunia II. Marshall Plan merupakan bantuan keuangan dari Amerika yang diberikan kepada Eropa untuk membangun kembali kekuatan perekonomiannya, karena Eropa adalah salah satu aliansi politik dan ekonomi terbesar bagi Amerika[1] sekaligus menjadi pendukung kebijakan AS secara global.
Di Bidang Politik, AS melalui PBB (Dewan Keamanan) dan sekutunya mampu menjadi dalang atas agresi, runtuhnya pemerintahan demokratis, pengucilan negara-negara yang anti imperialisme AS. Secara kebudayaan, dengan monopoli atas iptek dan budaya (baik seni, sastra, film dll) mampu menciptakan dunia yang saling mengutamakan kepentingan individu atas nama kompetisi hingga menjadikan manusia sebagai serigala atas manusia lainnya serta budaya-budaya yang menghancurkan tatanan masyarakat yang mengutamakan aspek keadilan dan kesejahteraan.
Secara militer, AS bersama sekutunya telah mampu menyebar puluhan pangkalan militer di sejumlah wilayah strategis untuk mengamankan jalur perdagangan dan mengancam kedaulatan suatu negeri yang ingin bebas dari belunggu rantai penjajahan oleh imperialisme AS. Dominasi secara militer yang dilakukan oleh AS dapat kita ketahui dengan banyaknya pangkalan-pangkalan militer yang ditempatkan di sejumlah di beberapa wilayah yang memang strategis baik secara ekonomi, politik, maupun keamanan. Adapun pangkalan militer yang sudah kita ketahui secara umum bertempatkan di Filiphina, Guam, Singapura, Jepang, Korsel, Timur Tengah, Laut Tengah dan Laut China Selatan.

LABOUR MARKET FLEXIBILITY : SISTEM KERJA KONTRAK DAN OUTSOURCING




Oleh : Harry Kusuma

Abstraksi
Ketersediaan lapangan pekerjaan bagi setiap warga negara adalah suatu keharusan yang dijamin oleh konstitusi NKRI sebagai wujud dari upaya menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan. Besarnya jumlah angkatan kerja selalu berbanding  terbalik dengan ketersediaan lapangan pekerjaan. Hal inilah yang sering ditafsirkan sebagai penyebab pengangguran dan kemiskinan di berbagai negara yang memiliki penduduk sangat besar seperti Indonesia. Selain, itu ada faktor lainnya juga memperparah dan mempersempit ketersediaan lapangan pekerjaan akibat krisis demi krisis yang dialami oleh negara industri maju yang merupakan sentra ekonomi dunia sehingga membawa efek domino terhadap perekonomian di Indonesia. Hal inilah yang mendorong berbagai kalangan untuk menciptakan satu mekanisme dan sistem ketenagakerjaan yang mumpuni serta mampu mendorong pertumbuhan ekonomi suatu negara. Adapun cara tersebut, dikenal dengan Labour Market Flexibility (fleksibilitas pasar tenaga kerja). Mekanisme ini menciptakan suatu kondisi dimana setiap angkatan kerja memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk mendapatkan pekerjaan. Selain itu, mekanisme ini juga memperkecil biaya yang harus dikeluarkan oleh pengusaha dalam merekrut tenaga kerja dan mekanisme ini juga menekankan pada aspek kualitas tenaga kerja yang diukur dari keterampilan dan pendidikan. Namun, penerapan mekanisme ini masih penuh dengan kecacatan yang amat parah karena hanya melahirkan kesejahteraan semu. Melalui tulisan ini, penulis mencoba untuk menelaah dan mengupas lebih mendalam tentang Labour Martket Flexibility (LMF).

Kata Kunci : LMF, Intervensi, Outsourcing, Kerja Kontrak, dan Kesejahteraan.

Prolog
Memasuki abad ke-20, kapitalisme telah memasuki tahap tertinggi yang sering disebut Imperialisme. Ciri-ciri yang nampak di era Imperialisme ini yakni munculnya perusahaan-perusahaan raksasa yang melakukan praktek monopoli dan berasal dari negara-negara adidaya seperti AS dan Eropa Barat yang mampu menembus batas wilayah hingga ke negara-negara berkembang di Asia, Afrika dan Amerika Selatan. Selain itu, aktivitas perluasan atau ekspansi perusahaan raksasa ini juga didukung oleh lembaga keuangan/bank sebagai sumber modal untuk mendukung aktivitas kinerja perusahaan-perusahaan raksasa tersebut, dan ditandai dengan tinggi perpindahan modal secara besar-besaran dari negara-negara pusat ekonomi dunia ke negara-negara berkembangan atau proses ini sering disebut dengan ekspor kapital.

Panah waktu bergerak ke abad ke-21, kita menjadi saksi hidup dari krisis demi krisis yang menimpa imperialisme yang kian kronis. Akar dari krisis ini terletak di dalam sistem kapitalisme yang dipraktekan di negara-negara maju yakni overproduksi barang-barang konsumsi dasar, barang-barang berteknologi tinggi, persenjataan militer, krisis energi karena kerakusan mereka sendiri, krisis keuangan (financial) karena praktek manipulasi. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari praktek perebutan pangsa pasar dunia bagi barang komoditas yang dihasilkan oleh antar kekuatan Imperialisme.

Krisis umum imperialisme pada abad ke-21 ini telah semakin memperjelas watak mereka yang sesungguhnya; perampok yang rakus dan barbar, terorisme negara yang getol mengobarkan perang agresi, dan kehancuran sosial di seluruh dunia. Sistem kapitalisme telah melewati masa-masa keemasannya. Dunia kapitalis tidak akan mendapati lagi kemunculan negeri-negeri kesejahteraan (welfare-state) sebagaimana terjadi pada era booming kemakmuran tahun 1980-an. Hal ini ditandai dengan pemangkasan subsidi sosial, kesehatan, pendidikan, biaya pensiun, dan menambah usia pensiun sudah nampak jelas telah terjadi di berbagai negara-negara maju di kawasan Eropa Barat dan AS yang merupakan ‘kandang’ bagi para imperialis. Tentunya ini menjadi kenyataan pahit bagi rakyat di tengah kondisi penghidupan yang semakin dimiskinkan dan disisihkan dari kehidupan sosial yang jauh dari kata layak dan beradab.

Efek tersebut pun harus dirasakan oleh jutaan rakyat Indonesia. Indonesia yang merupakan salah satu negeri yang sangat bergantung pada perekonomian Imperialisme juga merasakan akibat dari krisis umum imperialisme. Kondisi ditandai dengan kedudukan Indonesia yang dijadikan sebagai basis sosial bagi Imperialisme melalui pengerukan sumbera daya alam, eksploitasi ratusan juta angkatan kerja dan menjadikan Indonesia sebagai pasar atas barang dan jasa yang dihasilkan oleh Imperialis. Namun, untuk menjadikan Indonesia sebagai basis sosial bagi imperialis. Mereka juga harus menyiapkan perangkat politik yang menjadi jembatan legitimasi di Indonesia dengan melakukan berbagai macam intervensi di setiap kebijakan yang dikeluarkan (baca : rezim komprador (kaki-tangan)). Disinilah peran rezim dalam negeri yang menjadi kaki tangan Imperialis memainkan perannya dengan mengeluarkan berbagai macam kebijakan peraturan/perundang-undangan untuk mengeksploitasi kekayaan alam dan keringat rakyat Indonesia hingga menjadikan rakyat Indonesia sebagai konsumen.