Oleh : Harry Kusuma
Abstrak
Dengan jumlah penduduk yang sangat besar Indonesia menjadi mangsa yang
sangat empuk untuk dijadikan alat bagi Imperialis AS dalam mengeruk profit yang
sangat besar di sektor penyelenggaraan pendidikan tinggi. Dengan menggunakan
WTO yang mengikat negara-negara seperti Indonesia untuk menuruti setiap hasil
kebijakan WTO. Hal ini ditandai dengan dilaksanakannya konsep liberalisasi
dalam penyelenggaran pendidikan tinggi di Indonesia. Konsep liberalisasi ini
menjadi dasar pijakan pemerintahan dalam negeri Indonesia untuk menghasilkan
kebijakan yang sesuai dengan keputusan WTO. Maka, dampak yang nyata dan
dirasakan oleh jutaan rakyat Indonesia dari kebijakan ini adalah semakin
parahnya praktek komersialisasi pendidikan tinggi.
Kata Kunci :
Imperialis AS, WTO, Liberalisasi, Komersialiasi Pendidikan Tinggi, Kuliah Mahal
Dominasi
Era Imperialisme AS
Imperialisme AS selaku negeri pemenang PD II dimana
Industri-Industri tak terkena dampak kehancuran secara fisik (tidak seperti
negeri eropa barat seperti Inggris, Eropa, Italia, Jerman, Belanda, dll) mampu
mendikte dunia baik secara ekonomi, politik, budaya, dan militer. Secara
ekonomi, Imperalis AS menjadi pusat dan indikator pertumbuhan ekonomi dunia,
karena para kapitalis monopoli atas dan oligarki financial AS telah melakukan
infiltrasi terhadap seluruh sendi-sendi kehidupan ekonomi dunia dengan cara
memonopoli pasar, dan bahan baku industri serta melakukan ekspor kapital secara
besar-besaran dalam bentuk investasi, dan hutang.
Dominasi ekonomi ni ditandai dengan adanya
Bretton Woods System atau biasa disebut BWS ini memberikan framework
atau kerangka dalam hal keuangan yang merupakan lompatan besar bagi perusahaan
investasi Amerika yang berada di luar negeri, selain itu Bretton Woods
System juga menyediakan World Bank untuk memberikan kontribusinya
dalam penyebaran investasi asing. Dan dalam hal ini, Amerika tampak mendominasi
investasi asing
dan itu berawal dari berakhirnya Perang Dunia II. Kemudian faktor yang kedua
adalah adanya Marshall Plan, adanya Marshall Plan ini menciptakan kemakmuran
dan pengembangan ekonomi yang dilakukan di Eropa, dan pengembangan ekonomi ini
merupakan upaya untuk membangkitkan Eropa paska Perang Dunia II. Marshall Plan
merupakan bantuan keuangan dari Amerika yang diberikan kepada Eropa untuk
membangun kembali kekuatan perekonomiannya, karena Eropa adalah salah satu
aliansi politik dan ekonomi terbesar bagi Amerika[1] sekaligus menjadi pendukung kebijakan AS secara global.
Di Bidang Politik, AS melalui PBB (Dewan Keamanan) dan
sekutunya mampu menjadi dalang atas agresi, runtuhnya pemerintahan demokratis,
pengucilan negara-negara yang anti imperialisme AS. Secara kebudayaan, dengan
monopoli atas iptek dan budaya (baik seni, sastra, film dll) mampu menciptakan
dunia yang saling mengutamakan kepentingan individu atas nama kompetisi hingga
menjadikan manusia sebagai serigala atas manusia lainnya serta budaya-budaya
yang menghancurkan tatanan masyarakat yang mengutamakan aspek keadilan dan
kesejahteraan.
Secara militer, AS bersama sekutunya telah mampu menyebar
puluhan pangkalan militer di sejumlah wilayah strategis untuk mengamankan jalur
perdagangan dan mengancam kedaulatan suatu negeri yang ingin bebas dari
belunggu rantai penjajahan oleh imperialisme AS. Dominasi secara militer yang
dilakukan oleh AS dapat kita ketahui dengan banyaknya pangkalan-pangkalan
militer yang ditempatkan di sejumlah di beberapa wilayah yang memang strategis
baik secara ekonomi, politik, maupun keamanan. Adapun pangkalan militer yang
sudah kita ketahui secara umum bertempatkan di Filiphina, Guam, Singapura,
Jepang, Korsel, Timur Tengah, Laut Tengah dan Laut China Selatan.
Walaupun demikian, ditengah kedigdayaan imperialisme AS
di dunia, ternyata tak mampu terhindar dari penyakit kronis yang sering disebut
krisis umum Imperialisme. Krisis umum, disebabkan oleh overproduksi atas
barang-barang yang diproduksi oleh kapitalis monopoli. Overproduksi ini pun
diperparah dengan rendahnya daya beli masyarakat dunia yang tak mampu
mengkonsumsi secara terus menerus karena tingkat kesejahteraan yang dari waktu
ke waktu mengalami degradasi. Dengan demikian, perusahaan-perusahaan kapitalis
monopoli AS banyak yang gulung tikar, dan bangkrut karena tak mampu menghasilkan
profit untuk mengakumulasikan modal mereka. Kondisi ini pun juga mendorong
krisis finansial berkepanjangan dimana lembaga keuangan/oligraki finance tak
lagi mendapatkan setoran cicilan bunga dan pembayaran hutang karena banyak
kapitalis monopoli AS yang guling tikar.
Namun, ditengah krisis tersebut pun, imperialisme AS tak
tinggal diam dengan menyeret negeri jajahan dan setengah jajahan untuk ikut
berperan aktif dalam mengurangi dampak krisis yang dialami oleh Imperialis AS.
Bentuk upaya dari Imperialis AS untuk menanggulangi krisis dengan cara
melakukan penghisapan secara masif dan kontinu kepada rakyat di negeri jajahan
dan setengah jajahan. Adapun wujud nyata dari upaya tersebut yakni, perampasan
melalui agresi militer untuk mendapatkan sumber energi seperti halnya di
Afganistan (2001), Irak (2003) dan Libia (2011).
Selain, memastikan tersedia sumber energi untuk industri
kapitalis monopoli AS. Agresi tersebut, secara langsung juga berefek pada
beroperasinya industri persenjataan milik kapitalis monopoli AS yang dimana
pemerintahan AS membeli senjata-senjata hasil produksi kapitalis AS. Akhirnya
diikuti oleh negara-negara boneka untuk membeli senjata-senjata tersebut dengan
kedok untuk memperkuat basis pertahanan dalam negeri.
Diluar itu semua, Imperalisme AS juga masih memiliki cara
untuk mengatas krisis overproduksi dengan cara menciptakan suatu wadah yang
mampu menghubungkan dan mempermudah perdagangan serta ekspor kapital bagi
kapitalis monopoli AS dan oligarki finance untuk menjual hasil produksi dan
memberikan modal dalam bentuk investasi dan hutang. Banyak wadah yang
diciptakan oleh imperialisme AS agar mampu keluar dari jerat krisisnya yakni
dengan memperluas G8 menjadi G20, APEC, WTO dll.
Tonggak
Awal Komersialisasi Pendidikan Tinggi Era WTO
Imperialisme AS menggunakan berbagai macam
instrumen yang dimiliki untuk memastikan dominasi dan hegemoninya di dunia agar
proses penghisapan dan penindasan terhadap rakyat Indonesia terus berlangsung
dengan meminimalisir perlawanan dari rakyat. Adapun salah satu instrumen
tersebut adalah World Trade Organization.
Sebelum menjadi WTO, dahulunya adalah hanyalah
organisasi yang tak terikat keanggotaan dan hanya sebatas mengatur perdagangan
barang dan pembebasan tarif. Jikalau, anggota GATT melakukan pelanggaran,
negara tersebut tidak akan mendapatkan hukuman. Maka dari itu, atas inisiatif
Imperialisme AS keberadaan GATT ketika itu diubah menjadi WTO yang dimana
keanggotaan terikat secara hukum internasional dan perdagangannya pun meluas
hingga sektor jasa. WTO secara resmi berdiri pada tanggal 1 Januari 1995. Hal
kongkrit yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dibawah rezim fasis Soeharto, tepatnya pada tahun 1994 dengan meratifikasi Agreement
On Establishing the World Trade Organization (WTO) melalui Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Persetujuan Pembentukan Organisasi
Perdagangan Dunia[2].
Pada tahun 2000 yang terkenal dengan Doha
Around, WTO telah menetapkan sejumlah sektor-sektor jasa yang harus
diliberalisasikan. Pendidikan Tinggi dijadikan salah satu sektor jasa yang
dapat diperdagangkan dan pemerintah Indonesia dibawah kepemimpinan Rezim Fasis
Soeharto telah meratifiksasi kesepakatan tersebut atau dikenal dengan GATS
(General Agreement on Trade in Service).
Ilmu ekonomi membagi 3 sektor kegiatan usaha dalam masyarakat. Pertama adalah
sektor Primer mencakup semua industri ekstraksi hasil pertambangan dan
pertanian. Kedua, sektor sekunder mencakup industri untuk mengolah bahan
dasar menjadi barang, bangunan, produk manufaktur dan utilities. Dan ketiga,
sektor tersier yang mencakup industri-industri untuk mengubah wujud benda
fisik (physical services), keadaan manusia (human services) dan
benda simbolik (information and communication services). Sejalan
dengan pandangan ilmu ekonomi tersebut, WTO menetapkan pendidikan sebagai salah
satu industri sektor tersier, karena kegiatan pokoknya adalah mentransformasi
orang yang tidak berpengetahuan dan orang yang tidak mempunyai keterampilan
menjadi orang yang berpengetahuan dan mempunyai keterampilan (human services)[3].
Dalam ratifikasi tersebut, adapun keharusan yang
dilakukan oleh pemerintah untuk menyusun penyelenggaraan pendidikan yang sesuai
dengan kebutuhan pasar. Hal ini senada dengan pernyataan Mantan Rektor UGM
yakni Sofyan Efendi :
Melalui penandatangan GATS tersebut sebenarnya Pemerintah Indonesia telah menggeser
pandangan tentang penyelenggaraan pendidikan dari suatu kegiatan yang
sepenuhnya merupakan tanggungjawab pemerintah menunju kepada tanggung jawab
bersama antara pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat sebagaimana
tercantum dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas[4].
Hal ini dikarenakan Indonesia secara spesifik pada pertemuan WTO di
Hongkong telah memasukkan lagi sektor jasa pendidikan dan menawarkan (intial offer) liberalisasi jasa-jasa
pendidikan sebagai berikut: (1) jasa pendidikan menengah teknikal dan
vokasional; (2) jasa pendidikan tinggi teknikal dan vokasional; (3) jasa
pendidikan tinggi; (4) jasa pelatihan dan kursus bahasa; (5) jasa pendidkan dan
pelatihan sepakbola dan catur.
Pertanyaan selanjutnya mengapa pendidikan tinggi harus diliberalisasikan
dalam mekanisme pengintegrasian globalisasi yang akhirnya melahirkan
komersialisasi pendidikan?
Sudah seperti yang kita ketahui, WTO pada awalnya ada GATT yang dimotori oleh
AS agar perdagangan di dunia dapat diintegrasikan agar mempermudah proses
pertukaran barang dan jasa dan terbebas dari politik dumping serta bea masuk
yang tinggi. Disini AS sebagai negara industri yang besar dan maju tentunya
mengharapkan agar barang dan jasanya yang diekspor ke berbagai belahan dunia
terbebas dari tingginya bea masuk atau dikenal dengan zero tariff barier.
Lambat laun, GATT yang diubah menjadi WTO pada tahun 1994 oleh insiatif AS
dengan diplomasi yang “mengancam” negara-negara dunia ketiga agar menyetujui
perubahan GATT menjadi WTO. Salah satu bukti keuntungan adanya liberalisasi
perdagangan jasa khususnya di sektor pendidikan yakni profit yang dihasilkan
oleh AS pada tahun 2000 pasca GATS di tanda tangani mencapai $14 milyar pada tahun
kurun 2000-2001[5] atau Rp
126 trilyun (kurs rupiah per dolarnya Rp 9500). Coba kita bayangkan, berapa
keuntungan AS khususnya perusahaan atau lembaga penyelenggara jasa pendidikan
asal AS jika “berjualan” di Indonesia dengan embel-embel Kualitas Wahid dan
Standar Internasional???
Pembentukan World Trade Organization (WTO) telah memberikan konsep
liberalisasi perdagangan kepada dunia khususnya kepada negara-negara anggota,
dimana konsep dasar dari liberalisasi perdagangan adalah penghilangan hambatan
dalam perdagangan internasional[6]. Penghilangan hambatan
dalam perdagangan internasional ini merupakan modifikasi penerapan konsep
neoliberalisme yang dikampanyekan oleh Imperialis AS dan sekutunya untuk
menderegulasikan setiap aturan hukum di suatu negara yang menghambat proses
perdagangan, melakukan privatisasi atas sektor-sektor publik yang dikuasai oleh
negara agar dapat dimasukkan investasi asing, dan meliberalisaikan seluruh
sektor kehidupan rakyat dengan menyerahkan kepada mekanisme pasar.
Sejalan dengan pandangan ilmu ekonomi yang dilahirkan oleh Imperialis AS,
WTO menetapkan pendidikan sebagai salah satu industri sektor tersier, karena
kegiatan pokoknya adalah mentransformasi orang yang tidak berpengetahuan dan
orang tidak punya ketrampilan menjadi orang berpengetahuan dan orang yang punya
ketrampilan[7]. Bentuk
perjanjian yang menyatakan bahwasanya pendidikan tinggi menjadi salah satu
sektor yang diperdagangkan dikenal dengan General Agreement on Trade in
Services (GATS). GATS
mengatur liberalisasi perdagangan 12 sektor jasa, antara lain layanan
kesehatan, teknologi informasi dan komunikasi, jasa akuntansi, pendidikan
tinggi dan pendidikan selama hayat, serta jasa-jasa lainnya.
Liberalisasi atas sektor pendidikan yang dimotori oleh AS ini tentunya
bukan tanpa alasan. Tentu upaya yang dilakukan oleh Imperialis AS memiliki
motif dan kepentingan berupa meraup keuntungan yang besar dengan menjadikan
pendidikan sebagai komoditi yang diperdagangkan.
Adapun terdapat tiga negara yang paling
mendapaatkan keuntungan besar dari liberalisasi jasa pendidikan adalah Amerika
Serikat, Inggris dan Australia[8].
Keuntungan diraih oleh ketika negara Imperialis tersebut dalam bentuk,
penerimaan devisa karena semakin banyaknya mahasiswa dari negara lain yang
belajar atau kuliah di negara tersebut dengan menggunakan visa pelajar,
maraknya kursus singkat atau pelatihan atau diklat yang dilakukan oleh suatu
lembaga pendidikan dari tiga negara tersebut baik dilaksanakan di negara asal
lembaga pendidikan maupun negara tujuan pemasaran dari diklat tersebut. Mulai
maraknya penggunaan jaringan internet yang digunakan oleh para pelajar atau
mahasiswa untuk mengakses ataupun mendapatkan literatur-literatur yang
disediakan di website resmi lembaga pendidikan (tidak gratis).
Hal ini diperkuat dengan bukti bahwa selama kurun WTO berdiri ternyata; Trade in services is estimated to be one of
the most dynamic growth sectors. Based on current WTO trade figures, trade in
services account for 1/5th of global trade and 60-70% of GDP in the
advanced OECD countries (Hartmann and Scherrer, 2003: 5). 75% of the trade in
services is located in the industrial OECD countries, especially the US,
Canada, EU (the biggest exporter, largely composed of the UK, France, Germany)
and Japan[9], (terj : Perdagangan jasa menjadi
salah satu sektor yang paling dinamis pertumbuhannya. Berdasarkan dari data
yang dirilis oleh WTO, perdagangan jasa hampir meliputi 1/5 dari total
perdagangan secara global dan 60-70% dari GDP di negara-negara OECD. 75% dari
perdagangan jasa tersebut berlokasi di negara-negara industri OECD khususnya
AS, Kanada Uni Eropa {Inggris, Perancis, Jerman}dan Jepang).
WTO telah mengidentifikasi 4 mode penyediaan jasa
pendidikan sebagai berikut: (1) Cross-border supply, bentuk penerapan mode 1 yakni, institusi pendidikan tinggi luar
negeri menawarkan kuliah-kuliah melalui internet dan on-line degree program
atau pendidikan tinggi jarak jauh yang lintas negara. Keuntungan yang diraih
oleh kapitalis monopoli AS dan sekutunya tentu sangatlah besar dimulai dari kerjasama
penyediaan sarana-prasarana (kontrak kerja sama) yang sesuai standar dari
lembaga pendidikan yang menyediakan jalur tersebut. Penyedia atau provider dari
sarana dan prasarana pendidikan jarak jauh tersebut akan mendapat keuntungan
karena mendapat konsumen tetap yakni para mahasiswa yang belajar menggunakan
jaringan internet mereka sediakan.
Berikut tabel peneriman dari perdagangan pendidikan
tinggi dengan penggunaan mode 1 :
Western
European and US Corporate E-Learning Market by Country, 2003 -2008 (US$M)
|
|||||||
Country
|
2003
|
2004
|
2005
|
2006
|
2007
|
2008
|
2003-2008
CAGR(%)
|
Austria
|
10
|
11
|
15
|
20
|
24
|
31
|
25.70%
|
Belgium
|
20
|
24
|
30
|
38
|
48
|
60
|
24.60%
|
Denmark
|
18
|
20
|
24
|
29
|
36
|
43
|
19.20%
|
Finland
|
12
|
14
|
18
|
23
|
29
|
35
|
24.50%
|
France
|
111
|
123
|
151
|
192
|
238
|
291
|
21.30%
|
Germany
|
141
|
156
|
200
|
260
|
330
|
401
|
23.20%
|
Grece
|
2
|
2
|
4
|
6
|
7
|
9
|
42.60%
|
Ireland
|
11
|
13
|
16
|
20
|
25
|
30
|
21.50%
|
Italy
|
70
|
82
|
103
|
131
|
167
|
212
|
24.90%
|
Netherlands
|
40
|
45
|
53
|
65
|
84
|
105
|
21.30%
|
Norway
|
16
|
20
|
24
|
29
|
35
|
40
|
20.10%
|
Portugal
|
8
|
10
|
13
|
17
|
23
|
29
|
30.50%
|
Spain
|
35
|
43
|
59
|
78
|
102
|
121
|
28.30%
|
Sweden
|
44
|
54
|
68
|
85
|
103
|
119
|
22.00%
|
Switzerland
|
16
|
20
|
26
|
33
|
43
|
57
|
28.60%
|
United Kingdom
|
144
|
178
|
227
|
288
|
364
|
427
|
24.30%
|
Western Europe Total
|
697
|
815
|
1031
|
1314
|
1659
|
2010
|
23.60%
|
USA
|
4124
|
5047
|
6305
|
8060
|
10,647
|
13,481
|
26.70%
|
Source : IDC (Subsidiary og The International Data
Group), Western European E-Learning Market 2003-2008 Forecast and Analysis,
Framingham, MA, June 2004, and World Wide and US Corporate E-Learing 2004-2008,
Forecast : Behind the Scenes with E-Learingn, A Business Enabler, Framingham,
MA, November 2004
Dari tabel diatas, sangat jelas sekali keuntungan
atau super profit yang didapatkan oleh negara-negara Imperialis khususnya AS.
Imperialis AS berdasarkan dari tabel diatas menjadi pihak yang paling
diuntungkan dari pelaksanaan mode 1 berdasarkan konsep perdagangan pendidikan
yang dicekokkan WTO kepada negara-negara jajahan dan setengah jajahan di dunia.
Maka hal yang wajar jika Imperialis AS sangat lantang mengumandangkan kebijakan
liberalisasi di sektor pendidikan tinggi dalam setiap pertemuan WTO.
Coba bandingkan dengan tabel berikut yang
menggambarkan pendapatan dari penerapan mode 1 di negara-negara jajahan dan
setengah jajahan :
Asia/Pacific ()Excluding Japan)
E-Learning Revenue by Country, 2003 -2008 (US$M)
|
|||||||
Country
|
2003
|
2004
|
2005
|
2006
|
2007
|
2008
|
2003-2008
CAGR(%)
|
Australia
|
42
|
51
|
66
|
86
|
112
|
146
|
28.20%
|
Hong Kong
|
11
|
13
|
15
|
17
|
20
|
24
|
14.70%
|
India
|
16
|
20
|
26
|
33
|
43
|
56
|
27.80%
|
Indonesia
|
0
|
1
|
1
|
1
|
1
|
2
|
35.00%
|
Korea
|
40
|
54
|
75
|
102
|
139
|
209
|
39.10%
|
Malaysia
|
5
|
6
|
7
|
9
|
11
|
15
|
25.90%
|
New Zealand
|
6
|
7
|
7
|
8
|
9
|
10
|
11.00%
|
Philippines
|
1
|
1
|
2
|
2
|
4
|
6
|
44.90%
|
PRC
|
22
|
38
|
62
|
91
|
125
|
170
|
50.30%
|
Singapore
|
21
|
25
|
32
|
41
|
51
|
65
|
25.60%
|
Taiwan
|
7
|
8
|
10
|
12
|
15
|
18
|
20.00%
|
Thailand
|
0
|
1
|
1
|
1
|
2
|
3
|
47.00%
|
Total
|
173
|
226
|
303
|
403
|
534
|
724
|
33.20%
|
Source : IDC (Subsidiary of The International Data Group),
Asia/Pacific (excluding Japan) E-Learing 2004 – 2008 Forecast and 2003 Vendor
Shares : A Market Overview, Framingham, MA, December 2004
Dari tabel diatas, sangat jelas sekali posisi
Indonesia hanya dijadikan pasar untuk perdagangan pendidikan dengan menggunakan
mode 1. Hal ini tergambar dari rendahnya pendapatan yang diraih oleh Indonesia
dalam perdagangan pendidikan dengan mode 1 ini. Dengan penduduk Indonesia yang
sangat besar jumlah dan ditandai dengan jumlah pemuda yang cukup besar, maka
hal yang wajar jika Pendidikan Tinggi yang menggunakan mode 1 hanya menjadikan
Indonesia sebagai konsumen Pendidikan Tinggi.
(2) Consumption abroad, bentuk penerapan mode 2 adalah
penyediaan jasa pendidikan tinggi yang paling dominan, mahasiswa belajar di
perguruan tinggi luar negeri. Keuntungan yang didapatkan oleh kapitalis
monopoli atas terselenggaranya perpindahan pelajar-mahasiswa yang melanjutkan
pendidikannya ke luar negeri khususnya ke negara-negara Imperialis. Akan
mendapatkan benefit berupa pendapatan visa pelajar yang harus dibayarkan oleh
peserta didik dalam jangka waktu tertentu, dan meningkatkan omzet penjualan
karena para pelajar dari luar negeri akan mengeluarkan sejumlah biaya (buku,
laptop, internet, dll) untuk mendukung proses belajarnya. Berdasarkan laporan
resmi yang diliris oleh Departemen Perdagangan AS pada tahun 2006 The revenue
implications for the US were immense. As the report noted: more than half a
million foreign students studying in the USA spend an estimated US$9 billion
per year. Foreign
students, largely from Asia, are also a significant economic resource for the
US economy, given that a large number, particularly in the science and
technology areas, tend to remain in, or return to the USA[10] (terj ; berdasarkan catatan laporan, penerimaan bagi AS
berimplikasi sangat besar. dari laporan yang tercata lebih dari setengah juta
pelajar dari luar negeri melanjutkan pendidikan di AS menghabiskan biaya hampir
US$ 9 milyar tiap tahunnya. Pelajar asing, sebagian besar berasal dari Asia,
yang juga memiliki pengaruh yang cukup signifikasi bagai perkembangan sumber ekonomi
di AS, dengan besarnya jumlah pelajar asing, khususnya di bidang iptek, mereka
memilih untuk tinggal atau kembali ke AS ).
(3) Commercial presence, bentuk penerapan dari mode 3 ini adalah kehadiran
perguruan tinggi luar negeri dengan membentuk partnership, subsidiary,
twinning arrangement dengan perguruan tinggi lokal. Keuntungan yang
didapatkan dari Imperialis AS yakni, mendapatkan konsumen secara langsung dari
negara yang menjadi pasar untuk memperdagangkan pendidikan.
dan terakhir, (4) Presence of natural persons,
bentuk penerapan dari mode 4 adalah adanya dosen atau pengajar asing mengajar
pada lembaga pendidikan lokal. Keuntungan yang didapatkan dari
Imperialis AS yakni terjadinya proses transfer ilmu pengetahuan/teori yang
digunakan untuk menghegemoni dan mempertahankan hegemoni serta dominasi mereka
ketika proses belajar dan mengajar berlangsung.
Selain itu, imperialis AS melalui WTO juga memanfaatkan hasil
penyelenggaran pendidikan baik dalam bentuk ilmu pengetahuan, teknologi dan
hasil-hasil lainnya yang diatur dalam TRIPs (Trade Related Intellectual
Property Rights) atau sering disebut dengan Hak Kekayaan Intelektual (HaKI).
HaKI mengatur Hak Cipta, Program Komputer, Hak Siar, Hak Rekaman, Hak atas
Merek Dagang, Hak atas Inovasi dan Pengembangan Teknologi, Hak atas Desain
Industri dll.
Keberadaan TRIPs atau HaKI ini menjadi keuntungan tersendiri bagi
kapitalis monopoli AS untuk memonopoli ilmu pengetahuan dan teknologi yang ada
di dunia. Hal ini dikarenakan jika ada orang atau pihak yang mencoba mengembangkan
suatu iptek tanpa sepengetahuan dari pemilik HaKI tersebut maka dapat
diperkarakan secara pidana karena dianggap telah ‘mencuri’ hak walaupun
percobaan untuk mengembangkan suatu iptek tersebut digunakan untuk khalayak
umum atau rakyat.
TRIPs adalah bentuk penerapan monopoli kemajuan iptek dan produk
kebudayaan yang digunakan oleh kapitalis monopoli AS dan sekutunya untuk
memperoleh profit dari penjualan atas produk yang dihasil oleh iptek dan produk
kebudayaan tersebut. Padahal pada hakikatnya iptek dan produk kebudayaan dapat
dan harus digunakan sebesar-sebesar untuk kepentingan umat manusia dalam
memenuhi kebutuhan hidup dasarnya dan meningkatkan kualitas hidup umat manusia.
Akan tetapi, prinsip yang digunakan dan disebarkan oleh imperialis AS ke
seluruh dunia bahwanya TRIPs merupakan bentuk penghargaan atas hasil iptek dan
kebudayaan. Konsepsi inilah yang akhirnya menciptakan banyak kalangan
akademisi, intelektual, hingga mahasiswa yang terjebak pada budaya
Individualistik yang terlepas dari kehidupan sosial masyarakat secara umum.
Sebagai gambaran, jika ada peneliti atau mahasiswa yang ingin
mengembangkan mesin pembangkit tenaga listrik yang murah untuk masyarakat.
Namun, karena mesin tersebut sudah dikembangkan dan dipatenkan oleh General Electric
(GE) yang notabene adalah perusahaan kapitalis monopoli AS yang bergerak di
bidang sumber energi dan elektronik. Maka mahasiswa atau peneliti tersebut akan
digugat dengan tuntutan penggunaan hak paten atas suatu teknologi yang dimiliki
oleh GE. Hal serupa juga akan terjadi jika ada peneliti atau mahasiswa
pertanian yang mencoba untuk mengembangkan bibit pertanian yang tahan hama agar
dapat digunakan untuk para petani dalam meningkatkan hasil produksi
pertaniannnya. Akan tetapi, bibit yang dikembangkan tersebut sudah dipatenkan
oleh Cargill atau Mosanto milik kapitalis monopoli AS yang merupakan perusahaan
rekayasa genetika pertanian juga akan menuntut mahasiswa pertanian tersebut.
Proyek Liberalisasi Melahirkan Komersialisasi Di Dunia
Pendidikan Tinggi Indonesia
Sebelum era reformasi, perguruan tinggi dapat dikatakan
satuan unit kerja yang bertugas menyelenggarakan pendidikan tinggi. Dalam
penyelenggaraan tersebut, semua kebijakan tersentral di pemerintah pusat baik
dalam hal akademik maupun non akademik (keuangan dan kelembagaan). Penerapan
dengan sistem dan mekanisme yang tersentral tersebut dinilai sebagian kecil
kalangan sangat menghambat perkembangan serta peningkatan kualitas
penyelenggaraan pendidikan tinggi. Untuk itulah perlu adanya semacam reformasi
atau perubahan dalam tubuh penyelenggara pendidikan tinggi khususnya negeri.
Secara hakikat memang tidak ada yang berubah dari lembaga
pendidikan tinggi negeri, lembaga tersebut masih menyelenggarakan pendidikan
disetiap jenis pendidikan tinggi seperti universitas, institut, sekolah tinggi,
politeknik, akademi, dan akademi komunitas. Akan tetapi, ada perubahan yang
cukup signifikan di dalam tubuh pendidikan tinggi baik bentuk penyelenggara dan
besarnya biaya.
Bentuk penyelenggara yang dimaksud adalah setiap jenis
pendidikan tinggi yang sudah disebutkan diatas dapat berbentuk Badan Hukum yang
mulai diterapkan pada tahun 1999 kepada 2 Universitas dan 2 Institut Negeri di
Indonesia seperti UI, UGM ITB dan IPB. Perubahan
tersebut juga diikuti oleh USU pada tahun 2003, UPI pada tahun 2004 dan UNAIR
pada tahun 2006[11].
Selain, berbentuk Badan Hukum, penyelenggara pendidikan tinggi juga dapat
berubah menjadi Badan Layanan Umum[12]. Ada pun beberapa Universitas dan Institut
negeri yang berubah menjadi BLU yakni UNDIP, UNPAD, UNM, UB, UNHAS, UNES,
UNMUL, UNS dan ITS yang berubah sejak tahun 2008. Lalu, dilanjutkan oleh UNESA,
UNILA, UNIGOR, UNY, UNIB, UNSRI, UNJ, UNAND dan UNSOED resmi berubah menjadi
BLU pada tahun 2009.
Indonesia telah mengubah beberapa PTN seperti UI, USU, UPI, UNAIR, UGM,
IPB, dan ITB menjadi PT BHMN yang model pengelolaannya wujud nyata dengan dari
liberalisasi pendidikan ketika pemerintah Gusdur mengeluarkan PP no 61 tahun
1999 tentang PT BHMN. Kondisi ini
tersebut dapat kita lihat, dengan mulai mahirnya UI pada tahun 2000an
menggunakan namanya sebagai Universitas no 1 di Indonesia untuk mengikat
kerjasama dengan pihak lain baik domestik dan luar negeri, misalnya membuka
perpustakaan online yang bekerja sama dengan salah satu pengembang di AS,
menyediakan sewa lahan di kampus UI bagi usaha dagang yang memiliki nilai jual,
baik yang berkaitan dengan akademik maupun tidak berkaitan.
Sedangkan untuk jawabannya yang tidak, karena pengelolaan tersebut harus
mengorbankan aksesbilitas masyakarat menengah ke bawah untuk melanjutkan
pendidikannya di UI dan PTN BLU lainnya sangat terbatas dan sulit sekali.
Dengan demikian, Indonesia hanya mampu “mengekspor” buruh murah ke luar negeri
yang bekerja sebagai PRT, Kuli dan Buruh Perkebunan karena mereka hanya
bermodalkan ijasah SMA/K/MA.
Hal ini dikarenakan ketika UI beserta PTN lainnya yang menjadi BHMN dan PTN
yang BLU di jadikan sebagai perguruan tinggi yang otonom dalam hal pengelolaan
keuangannya. Otonomi dalam pengelolaan keuangan disini adalah pihak MWA yang
bertugas menetapkan anggaran keuangan di PTN BHMN tiap tahun yang termasuk
biaya pendidikan di PTN BHMN tiap semesternya berdasarkan kebutuhan operasional
PTN BHMN selama satu tahun.
Secara konseptual dan ideal, otonomi pengelolaan keuangan yang diberikan
kepada PTN berbentuk Badan Hukum dapat membantu menutupi operasional
penyelenggaraan pendidikan dengan keotonomian yang didapatkan. Namun, mengapa
biaya pendidikan masih tinggi dan besar nilai nominal tiap tahunnya mengalami
kenaikkan yang harus dibayarkan tiap semester dan atau daftar ulang kepada PTN
yang berbadan hukum yang otonom. Disinilah sesungguhnya letak liberalisasi
sekaligus prakek komersialisasi pendidikan di bidang pendidikan tinggi yang
telah menggunakan prinsip Laissez-Faire
dimana penyelenggara dan penyedia jasa pendidikan atau dalam hal ini PTN ber-Badan Hukum seperti UI, UGM, USU,
UPI, ITB, IPB dan UNAIR diberikan kewenangan yang luas dan negara atau dalam
ini pemerintah hanya sebatas regulator semata dan tidak ada intervensi lebih
lanjut. Bentuk ketiadaan intervensi dan negara hanya sebatas regulator yakni,
pemerintah tak mampu menekan biaya pendidikan yang telah ditetapkan PTN yang
bersangkutan untuk tidak menetapkan dengan nominal yang besar dan tidak
dinaikkan tiap tahunnya. Maka hal yang wajar, telah muncul dan terpelihara
sebuah anekdot, jika anda/anak anda ingin
kuliah maka harus siapkan banyak uang.
Lalu, bagaimanakah dengan PTN yang berubah menjadi BLU?
BLU sendiri merupakan konsep yang banyak dipengaruhi oleh LoI IMF yang menginginkan
adanya setiap lembaga baik BUMN, Unit Pelaksana seperti PTN dan RS harus
seperti perusahaan privat yang menyediakan jasa dan pengguna jasa dikenakan
tarif minim dan atau tanpa subsidi dengan mekanisme pengelolaannya tidak lagi
tersentral di pemerintah pusat. Maka dari itu, banyak BUMN yang dimasukkan ke
dalam lantai bursa atau bahkan dijual kepemilikannya secara keseluruhan.
Praktek otonomi pengelolaan keuangan di sejumlah PT BHMN ternyata mendorong
PTN-PTN yang belum berstatus BHMN dan BLU berlomba-berlomba ingin menjadi PT
BHMN atau PT BLU. Akan tetapi, penerapan otonomi pengelolaan keuangan yang
dilakukan oleh PTN ditandai dengan praktek komersialisasi pendidikan dalam
bentuk tingginya dan banyak ragam/varian biaya pendidikan yang harus dibayarakan
oleh calon mahasiswa ketika registrasi awal.
Praktek komersialisasi ini menggunakan dalih atau modus berupa pembentukkan
semacam persatuan/perkumpulan yang terdiri dari orang tua mahasiswa.
Persatuan/perkumpulan ini sesungguhnya dibangun dan diinisiasi oleh pihak PTN
dengan menggunakan orang-orang yang bekerja di PTN (dosen, karyawan, dekan,
ataupun rektor) dan anaknya kuliah di PTN yang sama. Kondisi ini terjadi di
UNSOED dengan adanya POM, UNRAM dengan adanya IOMA, dan hampir menggejala di
seluruh PTN.
Pemuda Indonesia yang merupakan unsur rakyat yang
didasarkan atas umur (16-30), tersebar di berbagai sektor rakyat baik di klas
buruh, kaum tani, borjuasi kecil perkotaan, dan kaum miskin perkotaan. Pemuda
yang berada di tiap-tiap sektor tersebut memiliki persoalan khusus di
masing-masing sektor dan juga memiliki persoalan secara umum.
Persoalan khusus yang dimaksud adalah pemuda yang
bekerja sebagai buruh tentu memiliki tuntutan khusus yakni upah layak,
sedangkan pemuda yang bekerja sebagai kaum tani tentu memiliki tuntutan khusus
yakni tersedia lahan dan sarana produksi pertanian yang tak dimonopoli,
sedangkan pemuda yang diidentifikasikan sebagai pelajar, mahasiswa, peneliti,
penulis dll tentunya memiliki tuntutan yakni berupa tersedia satu sistem pendidikan
yang ilmiah, demokratis dan mengabdi pada rakyat, dan lain halnya dengan pemuda
yang berada dalam sektor kaum miskin perkotaan memiliki tuntutan khusus yakni
lapangan pekerjaan dan tempat tinggal yang layak. Namun, dari kekhususan
persoalan yang dihadapi pemuda Indonesia yang tersebar di seluruh sektor
rakyat, juga memiliki persoalan umum yakni lapangan pekerjaan yang layak,
pendidikan, dan aksesbilitas sarana dan prasarana umum untuk berekspresi dan
mengembangkan potensi bakat dan minat.
Persoalan umum yang dihadapi oleh pemuda Indonesia,
tentunya bukanlah sebuah ‘kutukan’ ataupun hal yang memang secara alamiah
terjadi begitu saja melainkan ada hal lain (aktor dan kepentingan) yang
melatarbelakangi munculnya persoalan umum tersebut. Indonesia sebagai negara
setengah jajahan setengah feodal yang merupakan manifestasi dari kolaborasi
borjuasi komprador dengan rezim boneka dalam negeri telah menjadikan sebagai
pasar, sumber bahan baku dan tenaga kerja untuk mengeruk super profit bagi
kapitalis monopoli di bawah pimipinan Imperialisme AS.
Imperialisme AS dan sekutunya yang hingga sekarang
masih terpuruk dalam jurang krisis yang tak berujung sesungguhnya menjadi aktor
utama sebagai dalang muncul persoalan yang dihadapi oleh pemuda Indonesia.
Kepentingan imperialisme AS di bumi Indonesia yakni mengurangi dan
menanggulangi dampak sistemik akibat dari krisis tersebut dengan melakukan
penghisapan dan penindasan yang tiap detik semakin menjadi-jadi.
Kondisi demikian tergambar dari, semakin maraknya
perampasan tanah yang akhirnya banyak kaum tani yang kehilangan mata
pencahariannya, penerapan upah murah yang akhirnya membuat kehidupan buruh jauh
dari kata layak dan manusiawi, tinggi biaya pendidikan yang semakin sulit untuk
diakses dan terkekangnya kebebasan dalam berekspresi, dan mengembangkan potensi
minta dan bakat.
Berbagai macam persoalan yang dihadapi oleh pemuda Indonesia saat ini
tidak terlepas dari skema penghisapan dan penindasan yang dilakukan oleh
Imperialis AS. Praktek perampasan tanah yang semakin menjadi-jadi untuk
perluasan perkebunan yang memiliki nilai komoditi lebih seperti kelapa sawit,
kopi, gula, karet dan perluasan areal pertambangan mineral seperti batubara,
timah, nikel, biji besi dll. Tentunya, praktek perampasan tanah yang dimotori
oleh tuan tanah besar dan borjuasi komprador dengan izin rezim boneka dalam
negeri (SBY) yang dijalankan oleh kabir-kabir baik di kementerian maupun
pemerintah daerah.
Selain itu, masih diterapkannnya kebijakan politik upah murah yang dimana
penghasilan para buruh Indonesia jauh dari kata layak dan manusiawi. Kebijakan
politik upah murah tentunya sangat memberatkan para buruh untuk menghidupi
keluarganya baik memenuhi kebutuhan dasar, pendidikan, kesehatan dll.
Maraknya perampasan tanah tanah dan gencarnya penerapan upah murah
menjadi persoalan umum yang dihadapi bangsa Indonesia sehingga menjerumuskan
rakyat Indonesia kedalam lubang kemiskinan yang cukup akut. Pada bulan Maret 2013, jumlah penduduk miskin (penduduk dengan
pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan) di Indonesia
mencapai 28,07 juta orang (11,37 persen) dari total penduduk Indonesia. Garis
kemiskinan yang digunakan ialah Rp 271.626 per kapita per bulan (di daerah perkotaan 10,33
juta orang dan di daerah perdesaan 17,74 juta orang).
Tentu bisa
kawan-kawan bayangkan dengan penghasil perbulan yang tidak kurang Rp 300rb,
sudah hampir dapat dipastikan anak-anak usia sekolah menengah ke atas hingga
pendidikan tinggi tidak dapat melanjutkan pendidikan. Ketiadaan lapangan
pekerjaan akibat praktek perampasan tanah yang membabi buta, rendahnya upah
yang didapatkan maka hal yang wajar jika banyak Pemuda Indonesia usia kuliah
tidak mampu mengenyam pendidikan tinggi. Kondisi ini tergambar dari tabel
berikut :
Tabel
Aksesbilitas
Perguruan Tinggi
No
|
Akhir Tahun Ajaran
|
Jumlah Lulusan Tingkat
Menengah
|
Melanjutkan ke PT
|
Tidak Melanjutkan ke PT
|
Putus Kuliah
|
Jumlah Mahasiswa
|
1
|
2003/2004
|
1.799.764
|
1.240.549 (68,93%)
|
559.215 (31,07%)
|
219.335 (6,37%)
|
4.343.288
|
2
|
2004/2005
|
1.831.326
|
976.877 (53,34%)
|
854.449 (46,66%)
|
281.933 (7,86%)
|
3.585.728
|
3
|
2005/2006
|
1.914.584
|
865.802 (45.22%)
|
1.048.802 (54,78%)
|
468.586 (12,79% )
|
3.663.435
|
4
|
2006/2007
|
1.943.378
|
875.695 (45,06%)
|
1.067.683 (54,94%)
|
470.219 (12,52%)
|
3.755.187
|
5
|
2007/2008
|
1.997.150
|
1.224.098 (61,29%)
|
773.053 (38,71%)
|
530.293 (12,12%)
|
4.375.354
|
6
|
2008/2009
|
1.841.531
|
960.652 (52.16%)
|
880.879 (47,83%)
|
(tidak diketahui)
|
4.281.695
|
7
|
2009/2010
|
1.988.429
|
1.024.379 (51,52%)
|
964.050 (48,48%)
|
(tidak diketahui)
|
4.337.039
|
8
|
2010/2011
|
2.388.541
|
-
|
-
|
-
|
4.581.351
|
Diolah dari
berbagai Sumber
Dari tabel diatas sudah sangat menggambarkan kondisi aksebilitas pemuda
Indonesia untuk dapat menikmati jenjang perguruan tinggi. Pada periode
kelulusan SMA/SMK/MA untuk tahun 2012 lalu, dari 130 perguruan tinggi negeri
dan sekitar 2.700 perguruan tinggi swasta, hanya bisa ditampung sekitar 1,1
juta mahasiswa baru (itupun campuran dari lulusan saat itu dan lulusan yang
lalu). Padahal, jumlah lulusan SMA/SMK/MA sederajat sekitar 2,9 juta orang
per tahun.
Rendahnya aksesbilitas pemuda Indonesia ke jenjang Pendidikan Tinggi
sangat dipengaruhi oleh kondisi keluarga mereka yang notabene rakyat Indonesia
secara umum berprofesi sebagai petani, buruh, dan pedagang kecil. Dengan
maraknya, perampasan tanah dan praktek politik upah murah sangat dimungkinkan
sekali, pemuda Indonesia akan sulit menembus jenjang pendidikan tinggi yang
biayanya tiap tahun mengalami kenaikkan.
Kenaikkan dan mahal biaya pendidikan tinggi yang harus dibayarkan oleh
pemuda Indonesia merupakan faktor pendukung atas rendahnya aksesbilitas ke
perguruan tinggi. Dengan pendapatan seorang buruh tani atau petani miskin yang
tiap hari tak lebih dari Rp 20.000, maka hal yang cukup mustahil bagi pemuda
Indonesia untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi. Apalagi dengan
kehidupan buruh-buruh yang ada di kota besar ataupun kota satelit yang upahnya
saja masih terbilang kurang untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, apalagi
harus mengkuliahkan anaknya yang lulus SMA/SMK/MA.
Kenaikkan biaya kuliah dapat kita lihat dari sejumlah tabel berikut ini :
Tabel
1
Biaya
pendidikan UI
(2005-2012)[13]
Tahun
|
BOP (tiap semester)
|
DKFM (tiap semester)
|
UP (pada semester 1)
|
DPP (pada semester 1)
|
2005
|
1.475.000 (eksak) dan 1.225.000 (sosial)
|
75.000 (eksak dan sosial)
|
5.000.000 – 25.000.000
|
475.000 (eksak sosial)
|
2006
|
1.475.000 (Eksak) dan 1.225.000 (sosial)
|
100.000
|
5.000.000 – 25.000.000
|
600.000
|
2007
|
1.475.000 (Eksak) dan 1.225.000 (sosial)
|
100.000
|
5.000.000 – 25.000.000
|
600.000
|
2008
|
7.500.000 (eksak) dan 5.000.000 (sosial)
|
100.000
|
5.000.000 – 25.000.000
|
600.000
|
2009
|
7.500.000 (eksak) dan 5.000.000 (sosial)
|
100.000
|
5.000.000 – 25.000.000
|
600.000
|
2010
|
7.500.000 (eksak) dan 5.000.000 (sosial)
|
100.000
|
5.000.000 – 25.000.000
|
600.000
|
2011
|
7.500.000 (eksak) dan 5.000.000 (sosial)
|
100.000
|
5.000.000 – 25.000.000
|
600.000
|
2012
|
7.500.000 (eksak) dan 5.000.000 (sosial)
|
100.000
|
5.000.000 – 25.000.000
|
600.000
|
Tabel[14]
Biaya
Pendidikan di UPI
(2010-2012)
Tahun
|
SPP dan Praktikum
(000 rupiah)
|
Lain-Lain
(000 rupiah)
|
DPL
(000 rupiah)
|
BPMA
(000 rupiah)
|
2010
|
1.400 – 2.400
|
708
|
3.000 – 15.000
|
3.000
|
2011
|
3.400 – 4.000
|
1.365
|
5.000 – 15.000
|
7.500
|
2012
|
3.400 – 4.000
|
1.365
|
5.000 – 20.000
|
7.500
|
Tabel[15]
Biaya
Pendidikan di Unsoed
(2009-2011)
Tahun
|
SPP
(000 rupiah)
|
BOPP
(000 rupiah)
|
BFP
(000 rupiah)
|
||||||
L1
|
L2
|
L3
|
L4
|
L1
|
L2
|
L3
|
L4
|
||
2009
|
1.100 - 2.500
|
2.500 – 90.000
|
5.000 – 135.000
|
7.500 – 180.000
|
10.000 – 200.000
|
-
|
-
|
-
|
-
|
2010
|
1.100 - 2.500
|
5.000 – 90.000
|
7.000 – 135.000
|
9.000 – 180.000
|
10.000 – 200.000
|
-
|
-
|
-
|
-
|
2011
|
1.100 – 2.500
|
Tidak berlaku
|
Tidak berlaku
|
Tidak berlaku
|
Tidak berlaku
|
2.500 – 90.000
|
7.500 – 150.000
|
10.000 – 200.000
|
15.000 – 250.000
|
Tabel[16]
Biaya
pendidikan di Universitas Brawijaya
2009-2011
Tahun
|
Saat
Regitrasi Awal Semester 1
|
Semester 2
hinggga lulus
|
Dibayar pada
mid semester
|
|||
SPP, Paket, dan
DBP
(000 rupiah)
|
SPFP
(000 rupiah)
|
SPIP
(000 rupiah)
|
SPP dan DBP
(000 rupiah)
|
SPFP
(000 rupiah)
|
SPIP
(000 rupiah)
|
|
2009
|
2.445 – 5.850
|
1.500 – 4.000
|
700 – 20.000
|
2.200 – 4.500
|
500 – 5.500
|
500 – 35.000
|
2010
|
2.920 – 6.010
|
4.000 – 28.500
|
Digabung ke SPFP
|
2.250 – 5.500
|
800 – 39.500
|
Digabung ke SPFP
|
2011
|
1.750 – 3.150
|
6.250 – 155.000
|
Digabung ke SPFP
|
1.750 – 3.150
|
-
|
-
|
Dari empat tabel yang mendeskripsikan biaya kuliah di empat PTN sudah
menunjukkan adanya tren kenaikkan biaya kuliah yang cukup signifikan. Kenaikan
biaya kuliah sebelum ditetapkan UU no 12 tahun 2012 tetang Pendidikan Tinggi di
empat PTN tersebut sudah sangat terlihat dimana untuk melakukan registrasi awal
ketika lulus tes masuk suatu perguruan tinggi saja harus mengeluarkan sejumlah
uang hingga ratusan juta rupiah. Belum lagi biaya semester yang harus
dibayarkan bisa mencapai Rp 7,5 juta.
Maka menjadi hal yang wajar, jika aksesbilitas untuk melanjutkan ke jenjang
pendidikan tinggi sangatlah sulit untuk 28 juta jiwa yang hidup dibawah garis
kemiskinan dan bagi petani dan buruh yang setiap hari harus bertahan hidup
dengan penghasilan yang tak mencukupi kebutuhan sehari-hari. Dengan kondisi
demikian, maka menjadi persoalan dan hal yang harus diperjuangan oleh pemuda
Indonesia untuk merebut kembali haknya atas pendidikan tinggi. Bahwasanya
partisipasi, pemuda Indonesia ketika mampu mengakses pendidikan tinggi
harapannya dapat membawa perubahan dalam taraf kebudayaan dan iptek bangsa
Indonesia ketika rakyat membutuhkan suatu inovasi dan temuan yang dihasilkan
dari proses pendidikan tinggi yang ilmiah, demokratis dan mengabdi pada rakyat.
Akan tetapi, persoalan pemuda Indonesia di bidang pendidikan tak berhenti
disitu saja. Hal ini dikarenakan SBY sebagai rezim boneka dalam negeri yang
anti rakyat telah menerapkan UU no 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi dan
Permendikbud no 55 tahun 2013 tentang UKT.
Tabel
Perbandingan
Biaya Pendidikan Non UKT dan UKT
(dalam Rupiah)[17]
Prodi
|
UI
|
UNSOED
|
UNIBRAW
|
|||
Non UKT
|
UKT
|
Non UKT
|
UKT
|
Non UKT
|
UKT
|
|
Kedokteran
|
93 juta
|
67,5 juta
|
214,5 juta
|
126 juta
|
164 juta
|
173,7 juta
|
10,3 juta/semester
|
7,5 juta/semester
|
23,83 juta/semester
|
14 juta/semester
|
18,2 juta/semester
|
19,3 juta/semester
|
|
Hukum
|
56,5 juta
|
45 juta
|
24,9 juta
|
22,5 juta
|
36,15 juta
|
55,8 juta
|
6,25 juta/semester
|
5 juta/semester
|
2,76 juta/semester
|
2,5 juta/semester
|
4 juta/semester
|
6,2 jut/semester
|
|
Teknik Sipil
|
99,4 juta
|
67,5 juta
|
37,25 juta
|
31,5 juta
|
51,1 juta
|
50,4 juta
|
11,04 juta/semester
|
7,5 juta/semester
|
4,1 juta/semester
|
3,5 juta/semester
|
5,6 juta/semester
|
5,5 juta/semester
|
|
Biologi
|
74 juta
|
67,5 juta
|
15,95 juta
|
22,5 juta
|
39,1 juta
|
49,5 juta
|
8,2 juta/semester
|
7,5 juta/semester
|
1,76 juta/semester
|
2,5 juta/semester
|
4,3 juta/semester
|
5,5 juta/semester
|
|
Ekonomi
|
56,5 juta
|
45 juta
|
38,65 juta
|
25,65 juta
|
44,95 juta
|
47,5 juta
|
6,27 juta/semester
|
5 juta/semester
|
4,2 juta/semester
|
2,8 juta/semester
|
5 juta/semester
|
5,27 juta/semester
|
|
Sosiologi
|
56,5 juta
|
45 juta
|
16,15 juta
|
21,6 juta
|
30,25 juta
|
47,5 juta
|
6,27/semester
|
5 juta/semester
|
1,7 juta/semester
|
2,4 juta/semester
|
3,3 juta/semester
|
5,27 juta/semester
|
|
Kimia
|
74 juta
|
67,5 juta
|
26 juta
|
22,5 juta
|
40,6 juta
|
54 juta
|
8,2 juta/semester
|
7,5 juta/semester
|
2,8 juta/semester
|
2,5 juta/semester
|
45,1 juta/semester
|
6 juta/semester
|
Tabel lanjutan
Prodi
|
UPI
|
UNDIP
|
||
Non UKT
|
UKT
|
Non UKT
|
UKT
|
|
Kedokteran (Undip)
Matematika (UPI)
|
Rp 59,8 juta
|
Rp 58,5 juta
|
Rp 145 juta
|
Rp 150 juta
|
Rp 6,6 juta/semester
|
Rp 6,5 juta/semester
|
Rp 16,1 juta/semester
|
Rp 16,6 juta/semester
|
|
Hukum (Undip)
PGSD (UPI)
|
Rp 44,4 juta
|
Rp 43,2 juta
|
Rp 40,6 juta
|
Rp 54 Juta
|
Rp 4,9 juta/semester
|
Rp 4,8 juta/semester
|
Rp 4,5 juta/semester
|
Rp 6 juta/semester
|
|
Teknik Sipil
|
Rp 54,8 juta
|
Rp 48,3 juta
|
Rp 44 juta
|
Rp 54 juta
|
Rp 6 juta/semester
|
Rp 5,3 juta/semester
|
Rp 4,8 juta/semester
|
Rp 6 juta/semester
|
|
Biologi
|
Rp 59,8 juta
|
Rp 58,5 juta
|
Rp 41,9 juta
|
Rp 54 juta
|
Rp 6,6 juta/semester
|
Rp 6,5 juta/semester
|
Rp 4,65 juta/semester
|
Rp 6 juta/semester
|
|
Ekonomi Manajemen
|
Rp 59,8 juta
|
Rp 48,3 juta
|
Rp 48,2 juta
|
Rp 54 juta
|
Rp 6,6 juta/semester
|
Rp 5,3 juta/semester
|
Rp 5,3 juta
|
Rp 6 juta/semester
|
|
Sastra Inggris
|
Rp 54,4 juta
|
Rp 47,7 juta
|
Rp 32,9 juta
|
Rp 39,75 juta
|
Rp 6 juta/semester
|
Rp 5,3 juta/semester
|
Rp 3,6 juta/semester
|
Rp 4,4 juta
|
|
Kimia
|
Rp 59,8 juta
|
Rp 58,5 juta
|
Rp 40,1 juta
|
Rp 54 juta
|
Rp 6,6 juta/semester
|
Rp 6,5 juta/semester
|
Rp 4,45 juta/semester
|
Rp 6 juta/semester
|
Tabel diatas merupakan efek dari penerapan UU PT yang malah tidak membawa perubahan dalam hal
besaran biaya kuliah yang harus dikeluarkan oleh keluarga dari pemuda Indonesia
yang ingin melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi. Padahal dalam kampanyenya,
yang dilakukan oleh rezim SBY yang anti rakyat melalui kabirnya M. Nuh selaku
Mendikbud bahwasanya penerapan UKT sangat meringankan para calon peserta didik
untuk mengakses pendidikan tinggi. Namun, kampanye tersebut adalah bualan
semata karena pada kenyataannya banyak calon peserta didik pada tahun ajaran
2013/2014 yang mengundurkan diri karena tak mampu membayar biaya kuliah yang
tiap semesternya berkisar antara 2,4 juta hingga 24 juta rupiah.
Dengan kondisi objektif yang dihadapi oleh rakyat Indonesia yang tinggal
di pedesaan dimana mereka harus berhadapan langsung dengan aparat keamanan
hingga militer untuk memudahkan praktek perampasan tanah, dan yang tinggal di
perkotaan yang juga harus dihadapkan pada rendahnya upah yang diterima. Maka
dengan demikian, aksesbilitas bagi pemuda Indonesia harus terbentur tembok baja
yang sangat tebal yang bernama Biaya Kuliah yang Mahal.
Biaya kuliah yang mahal ini, tentunya bukanlah semata-mata tanpa alasan
begitu saja. Banyak peraturan perundang-undangan yang dijalankan oleh rezim SBY
untuk menyelenggarakan pendidikan tinggi merupakan bentuk deregulasi dan
liberalisasi pendidikan. Hal ini tergambar dengan jelas ketika UU no 20 tahun
2003 tentang Sisdiknas merupakn hasil intervensi atas kesepakatan rezim boneka
saat itu (Megawati) dengan WTO dibawah pimpinan Imperialis AS. Lalu disusul,
dengan penerapan BLU untuk PTN yang dijalankan oleh SBY yang dimana PTN
memiliki hak untuk menetapkan tarif layanan atas penyelenggaraan pendidikan
tingui. Dan yang terakhir, adalah keberadaan UU no 12 tahun 2012 tentang
Pendidikan Tinggi dan Permendikbud no 55 tahun 2013 tentang BKT dan UKT sebagai
peraturan pelaksana.
Kebijakan liberalisasi pendidikan yang terjadi di Indonesia yang nota
bene sebagai negara setengah jajahan setengah feodal ini dapat kita lihat
ketika bagi rakyat yang memiliki kemampuan secara ekonomi untuk mengakses
pendidikan tinggi sesuai dengan kriteria atau syarat dari aturan perundang-undangan
yang berlaku maka mereka pun dapat mengaksesnya. Namun, rakyat yang tidak
memiliki kemampuan secara ekonomi untuk membayar sejumlah biaya kuliah sesuai
aturan yang berlaku maka mereka pun tak memiliki peluang sekecilpun untuk dapat
mengakses pendidikan tinggi.
Program rezim dengan memberikan beasiswa kepada mahasiswa miskin yang
jumlahnya puluhan ribu seperti Bidik Misi, PPA dan BBM pun tak akan mampu
mendongkrak aksesbilitas secara signifikan. Hal ini dikarenakan pemuda
Indonesia yang mendapatkan khusus Bidik Misi (jalur penyaringan mahasiswa tanpa
harus membayar biaya kuliah) pun harus memenuhi syarat-syarat tertentu, dan
untuk pemuda Indonesia yang tak memenuhi syarat pun harus menggigit jari
mereka.
Dari sini pun sudah sangat terlihat aspek diskriminasi yang diterapkan
oleh rezim SBY yang anti rakyat, dimana hanya mereka yang memiliki kemampuan
finansial yang memadai dapat mengakses pendidikan tinggi walaupun harus
membayar mahal. Dan mereka yang kurang mampu tapi memenuhi syarat tertentu
untuk mendapatkan bantuan Bidik Misi yang dimana pemuda Indonesia tak harus
membayar biaya kuliah. Lalu, kemanakah pemuda Indonesia yang tak memiliki
kemampuan finansial yang memadai dan tak memenuhi syarat untuk mendapatkan
Bidik Misi. Tentu, kita sudah dapat mendapatkan jawabnya yakni mereka akan
menjadi buruh-buruh yang dibayar dengan upah yang tidak layak, menjadi buruh
migran tanpa perlindungan hukum yang jelas dan menjadi pengangguran hingga
melakukan perbuatan anti sosial.
Dari sekian banyak penjelasan dan pandangan terkait metamorfosa
komersialisasi Pendidikan Tinggi di Indonesia. Tentu, harus diikuti dengan
solusi yang benar-benar dapat menjawab persoalan pendidikan tinggi secara
komprehensif. Maka dari itu, perlu kita sadari
bersama keberadaan UU no 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional
belumnya mampu menjawab persoalan-persoalan yang dihadapi oleh bangsa ini.
Untuk itu, UU no 20 tahun 2003 perlulah direvisi agar persoalan-persoalan yang
dihadapi secara khusus dalam penyelengaraan pendidikan tinggi dapat terakomodir
dalam satu UU yang juga melingkupi jenjang pendidikan dasar dan menengah
sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan. Sebagai upaya untuk menyelesaikan
persoalan pendidikan secara umum dan komprehensif maka dalam UU Sisdiknas yang
baru harus diperhatikan pada beberapa aspek pendukung penyelenggaraan
pendidikan nasional (dasar hingga tinggi). Aspek tersebut yakni : a) fasilitas,
b) kurikulum, c) sumber dan alokasi pendanaan, d) metode pembelajaran, e)
tenaga pengajar dan karyawan, f) pengelolaan, g) beban/tanggung jawab
masyarakat, h) orientasi, g) perangkat hukum turunan (PP). Tentunya dalam
pelaksanaan revisi atas sistem pendidikan nasional harus mampu mengedepankan
kepentingan nasional dan rakyat yang terbebas dari kepentingan asing atau dalam
hal ini pengaruh dari hasil ratifikasi GATS. Upaya ini ditujukan agar
penyelenggaraan pendidikan tinggi yang diatur dalam UU sisdiknas yang baru
mampu menciptakan tenaga-tenaga ahli yang dapat mengembangkan kebudayaan dan
teknologi bangsa, meningkatkan partisipasi masyarakat, tingginya kontribusi
lulusan perguruan tinggi terhadap masyarakat dan lain-lain.
[1] Harry, Magdoff, “The Multinational Corporation and Development – A
Contradiction?”, dalam Imperialism: From the Colonial Age to
the Present, New York: Monthly Review Press, 1978, pp. 171-172
[2] Soedjono
Dirdjosisworo, Kaidah-Kaidah Hukum Perdagangan Internasional (Perdagangan
Multilateral) Versi Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organisation)=WTO,
(Bandung: CV. Utomo, 2004), hal. 20.
[3] Makalah yang disampaikan oleh prof. Sofyan Efendi sebagai Rektor UGM pada
acara Diskusi “GATS: Neo-imprialisme modern dalam Pendidkan”
diselenggarakan oleh BEM KM UGM, Ygoayakarta, 22 September 2005.
[6] Eko Prilianto Sudradjat, Free Trade (Perdagangan
Bebas) dan Fair Trade ( Perdagangan berkeadilan) Dalam Konsep Hukum,
http://
Whatbecomethegreaterme.blogspot.com/2007/12/konsep-hukum-fair-trade.html,
diakses pada tanggal 18 Maret 2011
UGM, Ygoayakarta, 22 September
2005.
[8] Enders, Jurgen dan Oliver Fulton. Eds., Higher
Education in a Globalizing World. Dordrecht. Kluwer Academic Publishers.
2002 hal 104-105.
[9] Hartmann, E. and
Scherrer, C. (2003). Negotiations on Trade in Services – the Position of the
Trade Unions on GATS, Geneva: Friedrich Ebert Stiftung.
[10] Susan L. Robertson, (2006), Globalisation, GATS and Trading in Education
Services, University of
Bristol, UK, hal 5-6.
[11] Perubahan
status menjadi Badan Hukum di beberap Universitas dan Institut didasarkan pada
PP no 61 tahun 1999 tentang PT BHMN (Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik
Negara).
[12] Perubahan
didasarkan atas PP no 23 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum
yang merupakan turunan dari UU no 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
[13] Penyusunan
tabel ini berdasarkan SK Rektor UI untuk sarjana reguler yang dikeluarkan tiap
awal tahun ajaran baru. Eksak terdiiri dari Kedokteran, Kedokteran Gigi,
Kesehatan Masyarakat, Keperawatan, MIPA, Teknik, Ilmu Komputer, sedangkan untuk
sosial terdiri dari Ilmu Budaya, Hukum, Ekonomi, Ekonomi, Psikologi dan ISIP.
Sumber dari kumpulan SK Rektor UI yang mengatur biaya pendidikan untuk program
Sarjana Reguler.
[14] Penyusunan tabel ini berdasarkan SK Rektor UPI untuk
sarjana reguler yang dikeluarkan tiap awal tahun ajaran baru. SPP dan Praktikum
adalah jenis biaya pendidikan yang harus dibayarkan oleh mahasiswa tiap
semesternya. Sedangkan biaya Lain-Lain yang terdiri dari biaya registrasi,
biaya kesehatam biaya jas almamater dan pembukaan rekening merupakan biaya yang
dibayarkan ketika daftar ulang. Selain itu, ada pula DPL atau Dana Pengembangan
Lembaga yang besaran nominalnya dibedakan berdasarkan prodi. DPL dibayarkan lunas pada daftar ulang. Terakhir, BPMA atau
Biaya Peningkatan Mutu Akademik yang dikenakan disetiap prodi dengan nominal
yang sama antar prodi. Biaya ini, dibayarkan (lunas) oleh orang tua mahasiswa
ketika daftar ulang bersama-sama dengan SPP, Praktikum, Biaya Lain-Lain dan
DPL.
[15] Penyusunan
tabel ini berdasarkan SK Rektor Unsoed untuk sarjana reguler yang dikeluarkan
tiap awal tahun ajaran baru. SPP di Unsoed terdiri dari SPP, Praktikum, SPI dan
Pendamping. BOPP atau Bantuan Operasional Pendidikan dan Pembangunan berlaku
pada tahun ajaran 2009/2010 hingga 2010/2011 sebagai pengganti dana POM yang
menyalahi aturan keuangan negara. Sedangkan BFP atau Fasilitas Pendidikan
berlaku hanya berlaku pada tahun ajaran 2011/2012. BOPP dan BFP merupakan
bentuk pengenaan tarif kepada peserta didik yang diatur dalam PP no 23 tahun
2005 tentang PK BLU. Sumber dari kumpulan SK Rektor Unsoed yang mengatur biaya
pendidikan untuk program Sarjana Reguler.
[16] Penyusunan
tabel ini berdasarkan SK Rektor UB untuk sarjana reguler yang dikeluarkan tiap
awal tahun ajaran baru. DBP atau Dana Bantuan Praktikum dibayarkan setiap
semester bersama SPP kecuali Paket. SPFP atau Sumbangan Pengembangan Fasilitas
Pendidikan dan SPIP atau Sumbangan Pengembangan Institusi Pendidikan pada tahun
ajaran 2009/2010 masih dipisah dan pada awal semester atau registrasi pihak
orang tua/wali mahasiswa melakukan semacam wawancara tertutup untuk menentukan
SPFP dan SPIP proposional yang berdasarkan kemampuan orang tua/wali dan
dibayarkan satu kali pada mid semester. Pada tahun ajaran 2010/2011 dan
2011/2012 SPIP diintegrasikan ke SPFP. Pada tahun ajaran 2010/2011 penentuan
masih SPFP yang sudah digabungkan dengan SPIP seperti pada tahun ajaran
2009/2010. Pada tahun 2011/2012 penentuan SPFP sudah dilakukan dengan melakukan
wawancara orang tua/wali sebelum waktu pelaksanaan registrasi awal. Sumber dari
kumpulan SK Rektor Universitas Brawijaya yang mengatur biaya pendidikan untuk
program Sarjana Reguler.
[17] Biaya
Pendidikan yang harus dikeluarkan selama 9 Semester. Biaya pendidikan ini
berdasarkan SK masing-masing rektor untuk tahun ajaran 2011/2012 (biaya
semesteran dikali 9 semester plus biaya yang dibayar satu kali ketika
registrasi awal) dan berdasarkan Permen no 55 tahun 2013 tentang UKT dan BKT.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar