Halaman

Kamis, 12 Desember 2013

Tanya yang Tak Bisa Aku Jawab




Oleh: Harry Kusuma

Namaku Andi Wibowo dan biasa dipanggil Andi. Aku sekarang menjadi siswa kelas 3 semester di SMA negeri di daerah Pangalengan. Aku berasal dari keluarga cukup sederhana, aku anak pertama dari dua bersaudara. Adikku bernama Ella Ningsih atau biasa dipanggil Ella. Ayahku seorang guru di sekolah menengah pertama swasta di daerah Pangalengan, sedangkan ibuku seorang  karyawan biasa di pabrik teh milik PT PN VIII. Ayah dan ibu merupakan pekerja yang giat dan bertanggung jawab.

Sepengetahuanku, beliau sangat jarang sekali absen ataupun bolos jika tidak ada hal yang benar-benar penting hingga memaksa beliau untuk izin. Ella, adikku sekarang duduk di bangku SMP kelas 2. Ayah dan ibuku selalu membemberikan nasihat kepadaku agar aku menjadi orang yang berguna bagi keluarga, masyarakat, agama, bangsa dan negara.



Aku sendiri memiliki cita-cita untuk menjadi seorang dokter. Latar belakangku memiliki cita-cita seorang dokter karena di tempat aku tinggal sedikit sekali dokter yang bisa membantu masyarakat di desaku, desa Marga Mekar. Suatu ketika, guruku yang bernama Ibu Aisyah atau biasa aku dan teman-temanku memanggil dengan Bu Ai, bertanya pada aku dan teman-teman kelasku saat pelajaran Bimbingan dan Konseling.

“Anak-anak, Ibu ingin bertanya kepada kalian semua”, tanya Bu Ai di hadapan kelas yang mulai agak tegang. “Ibu, mau tanya apa kepada kita semua?”,  celetuk Edi, murid yang dikenal cukup pemberani di kelasku. Kawan-kawanku banyak yang tidak sabar dan menduga kalau Bu Ai akan memberikan kita nasehat seperti pada waktu-waktu sebelumnya dan itu membuat aku dan kawan-kawanku bosan serta terkadang mengantuk. “ jadi begini anak-anakku, kalian semua sudah kelas tiga, sebentar lagi kalian akan lulus. Ibu ingin bertanya, apakah diantara kalian masih memiliki cita-cita ketika kecil hingga sekarang tak pernah berubah  dan atau ada yang mengubah cita-cita kalian saat sudah dewasa seperti ini?, tanya bu Ai dengan nada yang agak rendah.

Sebelum menjawab pertanyaan bu Ai, aku dan mungkin kawan-kawanku mencoba berpikir untuk menyusun kata-kata yang tepat atau bahkan kita tak tahu harus menjawab pertanyaanku dari bu Ai. Pertanyaan dari bu Ai menurutku mengandung banyak makna dan kita pun seperti diajak untuk berpikir serius untuk menjawab pertanyaan dari bu Ai. Tak terasa sepuluh menit pun berlalu, tanpa ada satu orang pun yang ingin menjawab atau kita tidak bisa menjawab pertanyaan dari bu Ai.

Tiba-tiba, “wahai anak-anakku, kenapa tidak ada yang menjawab?apa kalian bingung dengan apa yang Ibu tanyakan kepada kalian?atau kalian sudah tidak memiliki cita-cita lagi?” sela bu Ai. Kita pun menjadi lebih terdiam lagi, aku menengok kiri-kanan teman-teman ku yang biasanya mengobrol satu sama lain. Tapi, pada kesempatan kali ini tidak ada satupun yang mengobrol. Edi pun, murid yang dikenal pemberani, hanya dapat menaruh kepalanya diatas meja dengan tangan yang aktif mengusap-usap kepalanya sendiri.

Aku hanya bisa termenung dan mencoba memikirkan cita-citaku. Sedangkan  Laila, perempuan, salah satu perempuan cantik nan manis yang pernah membuat aku kesengsem dan murid juara kelas selama 3 tahun berturut-turut sekaligus kawan satu genkku juga tak mampu mengeluarkan kata-kata dari mulutnya. Apalagi Agus, kawan satu genkku pula dan anak yang cukup pendiam hanya dapat mencoret-coret bukunya sendiri. Begitu pula, Sandy teman satu mejaku selama kelas tiga pun tidak mengeluarkan sepatah kata yang dihasilkan oleh pita suaranya. Padahal Sandy, terkenal sebagai anak mudah bergaul dan sedikit ceplas-ceplos.

Waktu pun bergulir, bu Ai berjalan menghampiri kita semua dengan pandangan yang lurus kedepan tanpa melihat kami semua karena matanya terpejam dan  juga tanpa mengeluarkan kalimat  susulan yang terlontar dari bibir mungilnya. Bu Ai menghampiri kita hingga derap langkahnya terasa membuatku diriku merinding. Perasaan ini bukan karena aku takut tapi ada hal yang lebih membuat bibirku tak mampu berkata-kata.

Setelah menghampiri kami dengan mata yang terpejam, bu Ai pun berkata, “anak-anak, sekarang kalian boleh pulang, karena hari ini kita dewan guru akan mengadakan pertemuan mendadak terkait persiapan UN kamu semua. Ibu harap, kalian semua memikirkan dan dapat menjawab dari pertanyaan ibu.

Ibu hanya mengingatkan, janganlah kalian semua membuang cita-citamu. Karena, cita-cita tersebutlah yang membuat kalian mengerti dan menjalani hidup dikemudian waktu. Akhir kata, selamat siang dan cepat pulang dan jangan main terlalu jauh dan lama, ingat kalian sebentar lagi akan UN, persiapkan diri kalian baik-baik”, ujar bu Ai dengan nada yang meyakinkan. “iya bu, terima kasih atas bimbingannya”, jawab kita semua untuk bu Ai.

Aku, Edi, Laila, Sandy dan Agus keluar sama-sama, saat menuruni tangga kita hanya bisa menatap satu sama lain. Tapi, saat di depan gerbang sekolah, Sandy membujuk kita semua agar kita untuk mengumpul sebentar di warung kopi milik Pa’ Maman yang sering kita jadikan base camp. Dengan sergap dan semangat kita pun mengiyakan hanya menganggukkan kepala. Sesampainya, di warkop milik Pa’ Maman, kita semua memesan minuman sebagai  teman ngobrol.  Andi dengan es jeruknya, Laila dengan es teh manisnya, Sandy dengan kopi susu, aku dengan es soda susu dan Agus dengan kopi hitam. Sambil mulai menyantap minuman kami, Sandy  membawakan dan menawarkan rokok kepada aku dan Agus. Kami bertiga, memang perokok aktif akan tetapi aku dan Agus baru mulai merokok kelas dua SMA.

Setelah 15 menit berlalu, Sandy mengawali perbincangan ringan kami, “hey, tadi kenapa kalian pada diam dan tidak menjawab pertanyaan dari bu Ai?”, tanya Sandy kepada kita. “lalu, kamu sendiri kenapa tidak menjawab?”, ketus Edi kepada Sandy. “iya ya, kenapa kita tak bisa menjawab pertanyaan dari bu Ai, dan apa yang membuat kita seakan tak memiliki keberanian untuk menjawab pertanyaan yang dahulu sering kita dengar saat TK ataupun SD”, jelas Laila. “Tapi, ngomong-ngomong  cita-cita kalian apa?”, tanya Agus kepada kami.

“kalau aku, sebenarnya pengen dari aku kecil hingga sekarang, aku ingin menjadi seorang Polisi”, jelas Edi. “kenapa, kamu ingin jadi Polisi, kan banyak polisi yang memanfaatkan jabatannya untuk dirinya sendiri hingga perutnya gendut”, tanya penuh canda dari Laila. “Sebenarnya aku ingin jadi polisi, karena aku ingin menjaga orang-orang yang aku sayangi dan masyarakat dari penjahat-penjahat yang tidak bertanggung jawab.

Serta, aku juga sebenarnya marah pada polisi zaman sekarang karena kerjanya lamban, dulu saat aku kecil, ayahku dicopet. Tapi, polisi lamban sekali menangani kasus ayahku. Itulah yang menjadi alasan utamaku kenapa aku ingin menjadi Polisi. Aku” juga ingin merubah polisi benar-benar menjadi orang-orang yang dapat mengayomi masyarakat”, tegas Edi. “Wow, keren banget, cocok itu, apalagi tubuh kamu tinggi dan tegap, pasti kamu diterima”, jelas Adi. “Tapi, aku juga tidak tahu apa keluargaku mampu membiayaiku untuk menjadi polisi”, ujar Edi.

Edi memang memiliki keinginan untuk menjadi polisi, tapi sudah jadi rahasia umum bahwa ongkos untuk menjadi seorang polisi tidaklah murah. Biaya yang dikeluarkan hampir belasan juta atau bahkan puluhan juta, sedangkan orang tuanya hanya seorang pedaganbg ketupat sayur yang penghasilannya cuma cukup untuk membiayai kehidupan sehari-hari keluarga.

Aku jadi teringat ketika Edi sempat curhat kepadaku terkait cita-citanya yang terbentuk oleh kenyataan. Edi sangat berharap untuk menjadi polisi. Akan tetapi, pernah suatu ketika orang tua Edi meminta Edi untuk membantu usaha keluarganya. Rencana ayahnya akan menyediakan gerobak baru untuk dapat dikelola oleh Edi.

Harapan dari orang tua Edi, dengan Edi ikut dapat membantu orang tuanya dapat membiaya sekolah adik-adik yang berjumlah 3 orang dan masih duduk di bangku SD sebanyak dua orang serta satunya masih SMP. Dengan keadaan tersebut, Edi mengurungkan niatnya untuk menjadi seorang polisi karena dipaksa oleh keadaan untuk ikut membantu orang tua.

“Lalu, kamu sendiri bagaimana Andi?”, Agus menyela. “Aku sendiri ingin menjadi  dokter?”, jawab aku. “Andi, kenapa kamu ingin menjadi dokter?” tanya Sandi dan Agus secara bersamaan. “Sebenarnya aku ingin berbakti untuk desaku dan sekitarnya, karena di desaku tidak ada dokter. Aku pernah punya pengalaman ketika adi kku Ella terserang DBD. Saat itu, aku dan orang tua harus pergi ke kota untuk mengobati Ella. Dari perngalaman tersebut, aku ingin menjadi dokter yang senantiasa siap siaga untuk menolong orang”, ujar aku dengan polos. “Wuih, mulia sekali cita-cita kamu, Andi”, celutuk Edi.

Waktupun, berlalu hingga sore pukul 4 sore sudah ditunjukkan oleh jam kecil milik Pa’ Maman yang ada di luar warung. Kita pun  bersiap-siap untuk pulang kerumah masing-masing. Aku dan kawan-kawanku berpisah diujung jalan dekat sekolah, Agus dan Sandy jalan kaki karena rumah dekat dengan warung Pa’ Maman. Edi, seperti biasa jalan menuju tempat ayahnya berjualan untuk membantu mendorong gerobak milik ayahnya. Sedangkan, aku dan Laila menunggu angkot di depan warung Pa’ Maman.

Dalam waktu menunggu angkot, aku dan Laila diam seribu bahasa tanpa ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut kita berdua. Tak terasa, angkot yang ditunggu olehku dan Laila pun datang bersamaan. Kita berdua, naik angkot yang berbeda karena rumah kami berdua cukup jauh jaraknya satu sama lain.

Aku pun naik dengan langkah yang agak berat. Entah mengapa sejak aku naik angkot dan duduk di angkot, aku termenung memikirkan cita-citaku. Aku pun bertanya, kepada diriku sendiri, apakah kawan-kawanku memikirkan hal yang sama dengan aku. Tak terasa, angkot yang aku naiki sudah tepat di depan rumahku. Aku pun turun dari angkot, sambil merogoh uang sebesar Rp 2000, dari kantong celanaku.

Seperti biasa, ayah dan ibu belum pulang dari kerja sedangkan Ella masih main bersama-temannya. Tanpa mengganti pakaian sekolahku, aku langsung membaringkan tubuhku di atas kasur yang biasa aku gunakan untuk tidur.

Dalam tubuh yang terbaring, aku mikirkan perkataan dari Edi tadi sore. Banyak pikiran yang terlontar dan masuk kedalam benakku. Apakah aku, juga akan bernasib dengan Edi yang mengurungkan cita-citanya terwujud, apakah aku mengalah dengan ikut membantu kedua orang tuaku. Pikiran tersebut, masuk saja kedalam benakku karena aku sadar untuk menjadi dokter memerlukan biaya yang tidak sedikit.

Sebelum kuliah saja, orang tua harus mengeluarkan uang puluhan juta, saat kuliah tiap semesternya juga harus membayar jutaan rupiah. Setelah lulus kuloah pun kau harus ambil kuliah profesi dan itu juga mengeluarkan biaya hingga puluhan juta rupiah. Dari sinilah aku mulai berpikir yang agak panjag terkait masa depanku.
Aku mulai menimbang langkah yang aku ambil untuk menggapai cita-citaku. Ini dikarenakan aku juga  harus sadar dengan kondisi keluargaku saat ini. Walaupun aku percaya, bahwa tuhan akan selalu memberikan jalan bagi hambanya. Tapi, aku juga harus realistis dengan keadaan keluargaku saat ini. Aku hanya bisa berharap akan datang keajaiban yang datang menghampiri aku dan keluargaku.******

Tidak ada komentar:

Posting Komentar