Oleh : Harry Kusuma
Abstraksi
Ketersediaan
lapangan pekerjaan bagi setiap warga negara adalah suatu keharusan yang dijamin
oleh konstitusi NKRI sebagai wujud dari upaya menciptakan kemakmuran dan
kesejahteraan. Besarnya jumlah angkatan kerja selalu berbanding terbalik dengan ketersediaan lapangan
pekerjaan. Hal inilah yang sering ditafsirkan sebagai penyebab pengangguran dan
kemiskinan di berbagai negara yang memiliki penduduk sangat besar seperti
Indonesia. Selain, itu ada faktor lainnya juga memperparah dan mempersempit
ketersediaan lapangan pekerjaan akibat krisis demi krisis yang dialami oleh
negara industri maju yang merupakan sentra ekonomi dunia sehingga membawa efek
domino terhadap perekonomian di Indonesia. Hal inilah yang mendorong berbagai
kalangan untuk menciptakan satu mekanisme dan sistem ketenagakerjaan yang
mumpuni serta mampu mendorong pertumbuhan ekonomi suatu negara. Adapun cara
tersebut, dikenal dengan Labour Market Flexibility (fleksibilitas pasar tenaga
kerja). Mekanisme ini menciptakan suatu kondisi dimana setiap angkatan kerja
memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk mendapatkan pekerjaan. Selain itu,
mekanisme ini juga memperkecil biaya yang harus dikeluarkan oleh pengusaha
dalam merekrut tenaga kerja dan mekanisme ini juga menekankan pada aspek
kualitas tenaga kerja yang diukur dari keterampilan dan pendidikan. Namun,
penerapan mekanisme ini masih penuh dengan kecacatan yang amat parah karena
hanya melahirkan kesejahteraan semu. Melalui tulisan ini, penulis mencoba untuk
menelaah dan mengupas lebih mendalam tentang Labour Martket Flexibility (LMF).
Kata Kunci :
LMF, Intervensi, Outsourcing, Kerja Kontrak, dan Kesejahteraan.
Prolog
Memasuki abad ke-20, kapitalisme telah memasuki tahap
tertinggi yang sering disebut Imperialisme. Ciri-ciri yang
nampak di era Imperialisme ini yakni munculnya perusahaan-perusahaan raksasa
yang melakukan praktek monopoli dan berasal dari negara-negara adidaya seperti
AS dan Eropa Barat yang mampu menembus batas wilayah hingga ke negara-negara
berkembang di Asia, Afrika dan Amerika Selatan. Selain itu, aktivitas perluasan
atau ekspansi perusahaan raksasa ini juga didukung oleh lembaga keuangan/bank
sebagai sumber modal untuk mendukung aktivitas kinerja perusahaan-perusahaan
raksasa tersebut, dan ditandai dengan tinggi perpindahan modal secara
besar-besaran dari negara-negara pusat ekonomi dunia ke negara-negara
berkembangan atau proses ini sering disebut dengan ekspor kapital.
Panah waktu bergerak ke abad ke-21, kita menjadi saksi
hidup dari krisis demi krisis yang menimpa imperialisme yang kian kronis. Akar
dari krisis ini terletak di dalam sistem kapitalisme yang dipraktekan di
negara-negara maju yakni overproduksi barang-barang konsumsi dasar,
barang-barang berteknologi tinggi, persenjataan militer, krisis energi karena
kerakusan mereka sendiri, krisis keuangan (financial) karena praktek manipulasi.
Hal ini merupakan konsekuensi logis dari praktek perebutan pangsa pasar dunia
bagi barang komoditas yang dihasilkan oleh antar kekuatan Imperialisme.
Krisis umum imperialisme pada abad ke-21 ini telah
semakin memperjelas watak mereka yang sesungguhnya; perampok yang rakus dan
barbar, terorisme negara yang getol mengobarkan perang agresi, dan kehancuran
sosial di seluruh dunia. Sistem kapitalisme telah melewati masa-masa
keemasannya. Dunia kapitalis tidak akan mendapati lagi kemunculan negeri-negeri
kesejahteraan (welfare-state) sebagaimana terjadi pada era booming
kemakmuran tahun 1980-an. Hal ini ditandai dengan pemangkasan subsidi sosial,
kesehatan, pendidikan, biaya pensiun, dan menambah usia pensiun sudah nampak
jelas telah terjadi di berbagai negara-negara maju di kawasan Eropa Barat dan
AS yang merupakan ‘kandang’ bagi para imperialis. Tentunya ini menjadi
kenyataan pahit bagi rakyat di tengah kondisi penghidupan yang semakin
dimiskinkan dan disisihkan dari kehidupan sosial yang jauh dari kata layak dan
beradab.
Efek tersebut pun harus dirasakan oleh jutaan rakyat
Indonesia. Indonesia yang merupakan salah satu negeri yang sangat bergantung
pada perekonomian Imperialisme juga merasakan akibat dari krisis umum
imperialisme. Kondisi ditandai dengan kedudukan Indonesia yang dijadikan sebagai
basis sosial bagi Imperialisme melalui pengerukan sumbera daya alam,
eksploitasi ratusan juta angkatan kerja dan menjadikan Indonesia sebagai pasar
atas barang dan jasa yang dihasilkan oleh Imperialis. Namun, untuk menjadikan
Indonesia sebagai basis sosial bagi imperialis. Mereka juga harus menyiapkan
perangkat politik yang menjadi jembatan legitimasi di Indonesia dengan
melakukan berbagai macam intervensi di setiap kebijakan yang dikeluarkan (baca
: rezim komprador (kaki-tangan)). Disinilah peran rezim dalam negeri yang
menjadi kaki tangan Imperialis memainkan perannya dengan mengeluarkan berbagai
macam kebijakan peraturan/perundang-undangan untuk mengeksploitasi kekayaan
alam dan keringat rakyat Indonesia hingga menjadikan rakyat Indonesia sebagai
konsumen.
Tentunya, dengan dijadikannya Indonesia sebagai basis
sosial bagi imperialisme telah menempatkan rakyat Indonesia pada umumnya dan
khususnya bagi buruh pabrik manufaktur, buruh pertambangan, buruh perkebunan,
buruh carefour-sejenisnya pegawai rendahan baik swasta/pemerintah, pegawai
pemerintah honorer, petani gurem/kere/miskin, buruh tani, mahasiswa/pelajar dan
pemuda desa/kota ke dalam lubang
penderitaan. Hal ini dikarenakan mereka hanya dijadikan salah satu sekrup yang
harus menggerakan perputaran modal untuk mendapatkan profit atau laba yang
harus didapatkan oleh perusahaan.
Ratusan juta angkatan kerja di Indonesia pun, harus
terpaksa ‘menelan’ mentah skema yang dihasilkan oleh Imperialis yakni Labour Market Flexibilty yang berbentuk
sistem kerja kontrak dan alih daya/outsourcing.
Hal ini juga diperparah dengan rendahnya keterampilan dan pendidikan yang dimiliki
oleh ratusan juta angkatan kerja sebagai dampak dari sistem penyelenggaraan
pendidikan yang komersil hingga kualitas angkatan kerja di Indonesia masih
didominasi atau hampir 50% dari total keseluruhan angkatan kerja oleh lulusan
SD hingga SMP.
Sekilas Tentang Sejarah Skema Sistem Buruh Kontrak dan
Outsourcing di Dunia
Sesungguhnya sistem kontrak,
outsourcing dan upah murah pada era modern sudah berlangsung sejak kapitalisme
berdiri di negeri-negeri Eropa Barat dan AS. Pada awal hingga akhir abad ke 19
di negara-negara Eropa Barat dan AS. Pada awalnya kontrak kerja yang mengikat
buruh dengan majikan/pemodal hanya berdasarkan perjanjian secara lisan dengan
merelakan dirinya bekerja sebagai buruh dan dibayar berupa upah yang rendah
oleh majikannya. Pada masa tersebut, juga lahir pihak penyalur (baca : calo)
tenaga kerja yang memiliki kaitan dengan majikan yang membutuhkan tenaga kerja
untuk menggerakan perusahaan atau pabrik yang dimiliki oleh pemodal. Perekrutan
tenaga kerja oleh calo sering kali
berasal dari penduduk pedesaan miskin dan pemukiman kumuh di kota untuk
dijadikan buruh hingga terjadi perpindahan penduduk secara besar-besar dari
wilayah rural ke ubran atau sering disebut dengan urbanisasi.
Pada fase ini, buruh benar
dijadikan alat oleh majikan untuk melakukan kegiatan produksi maupun
distribusi. Mereka pun diperlakukan sangat buruh, seperti jam kerja yang sangat
lama, jaminan kesehatan dan keselamatan kerja yang sangat minim, upah yang
sangat rendah, anak dibawah umur dipekerjakan, dsbnya. Buruh yang mencoba
berontak ataupun menentang majikan sebagai reaksi atas dikeluarkan/PHK sepihak
dan diperlakukan secara tidak adil dengan dijebloskan ke dalam penjara sebagai
bentuk hukuman karena merugikan pemodal.
Menjelang akhir abad 19
hingga awal abad 20, buruh pun menuntut adanya kejelasan nasib mereka. Sebagai
jawaban atas tuntutan buruh, tersebut muncullah pembatasan jam kerja buruh dan
pekerja lainnya (8 jam), dilarangnya mempekerjakan anak dibawah umur, dan
menerapkan kontrak kerja secara tertulis untuk memperkuat posisi buruh secara
hukum atau sering disebut dengan affirmative
action.
Dari sinilah titik tolak
munculnya perjanjian tenaga kerja di era modern
yang ditandai oleh adanya perjanjian kontrak kerja secara tertulis antara
buruh dan juga mulai terlembagakannya (dalam bentuk perusahaan) calo tenaga
kerja sebagai penyedia buruh bagi para majikan yang membutukan buruh. Namun,
pada kenyataannya nasib buruh pun tak kunjung membaik karena upah yang diterima
pun masih jauh dari harapan atau kelayakan.
Akan tetapi, badai krisis
ekonomi pada tahun 1929 menghantam sejumlah industri-industri besar di
negara-negara Eropa Barat dan AS atau sering disebut dengan malaise. Para pemodal pun mulai menata
kembali bisnis dan strategi mereka dengan melakukan ekspansi besar-besaran industri
mereka (sering dinamakan relokasi industri) ke negara-negara di Asia, Amerika
Selatan dan Afrika. Namun, untuk ‘menyamakan’ sistem kerja antara industri
pusat di negara-negara asal imperialis dan industri periferi di Asia, Afrika dan
Amerika Selatan. Mereka menciptakan sistem kerja yang dikenal dengan skema labour market flexibility (LMF) yang
ditujukan untuk memaksimalkan produkitivitas industri negara-negara Asia,
Afrika, dan Amerika Selatan sebagai upaya menekan biaya yang harus dikeluarkan
oleh perusahaan raksasa tersebut. Supaya, skema ini dapat dijalankan secara
aktif dan komprehensif di negara-negara tujuan ekspansi. Banyak perjanjian
bilateral ataupun regional hingga multilateral yang dilakukan oleh pemerintah
negara yang menajdi ‘rumah’ Imperialis dengan pemerintah tujuan ekspansi agar
perusahaan-perusahaan raksasa tersebut dapat melakukan aktivitas ekonominya di
negara yang bersangkutan. Rezim dalam negeri yang menjadi sasaran ekspansi pun menyediakan
perangkat-perangkat peraturan yang melegitimasi skema tersebut.
Penerapan MLF di
negara-negara Asia, Afrika dan Amerika Selatan dilatarbelakangi oleh keadaan
demografi penduduk dan kondisi geografis di masing-masing negara cenderung sama
yakni memiliki sumber tenaga kerja yang sangat besar dan kekayaan alam yang
melimpah ruah. Dengan adanya skema MLF yang diterapkan di Indonesia maka
industri Imperialis mampu memeras keringat rakyat Indonesia yang menjadi buruh.
Namun, praktek sistem kerja kontrak, outsourcing
dengan upah murah sudah ada sejak zaman kolonial Belanda.
Sejarah Penerapan Labour Market Flexibility : Sistem
Kerja Kontrak dan Outsorucing di Indonesia
Praktek sistem kerja kontrak
dan outsourcing mulai gencar
dilakukan seiring pemerintah kolonial Belanda melakukan pendirian industri
perkebunan yang memiliki dinilai jual tinggi seperti gula, tembakau, karet,
kopi. Selain itu, juga muncul industri transportasi perkeretaapian, perkapalan,
hingga industri pertambangan batubara, minyak bumi, timah, emas dll. Tentu,
untuk menjalankan roda-roda mesin pabrik para borjuasi atau pemodal baik yang
berasal dari Belanda maupun non Belanda seperti Inggris, AS membutuhkan buruh
sebagai tenaga penggerak pabrik. Kebijakan untuk menyediakan
buruh-buruh murah dan cepat saji, maka pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur
Jendral Hindia Belanda mengeluarkan kebijakan berupa peraturan Np. 138 tentang
Koeli Ordonantie. Peraturan tersebut kemudian direvisi lagi dengan
dikeluarkannya surat keputusan Gubernur Jendral Pemerintah Hindia Belanda Nomor
78.
Peraturan tersebut dikeluarkan dengan maksud ‘mulia’ yang
hanya ditujukan untuk para pengusaha yakni menciptakan iklim investasi yang
kondusif dan bentuk legitimasi dengan menyediakan tenaga kerja yang kelak
dijadikan buruh. Penyedia buruh murah
dan cepat saji ini atau perusahaan outsourcing
pada era kolonial Belanda dengan nama Planters Vereeniging yang khusus
menyediakan buruh disektor perkebunan yang mulai beroperasi pada akhir 1870an. Perusahaan
tersebut bertugas untuk mengordinasikan perekrutan tenaga kerja yang murah yang
dibantu oleh calo-calo lokal ataupun calo dari keturunan Cina. Selanjutnya, Planters Vereeniging ini
membuat kontrak dengan sejumlah biro pencari tenaga kerja untuk mendatangkan
buruh-buruh murah secara besar-besaran terutama dari daerah Jawa Tengah dan
Jawa Timur baik pribumi maupun keturunan Cina miskin.
Planters Vereeniging juga bekerjasama dengan para kapitalis birokrat seperti Lurah/Kepala Desa/Wedana-Asisten Wedana hingga raja-raja kecil, bahkan calo
tradisional untuk mengangkut kaum bumi putra
meninggalkan kampung halamannya menuju tanah perkebunan. Mereka kemudian
diangkut ke Batavia, dan di Batavia mereka wajib menandatangani perjanjian
kontrak yang yang saat itu disebut sebagai Koeli
Ordonantie. Dalam kontrak kerjasama tersebut, ditulis dalam
bahasa Belanda dan hampir keseluruhan buruh perkebunan tidak mengetahui dan
memahami isi perjanjian kerja tersebut. dan hak mereka baik jam kerja, upah
hingga makan pun hanya diadakan seadanya hingga banyak buruh perkebunan yang
dijanjikan akan mendapatkan gulden malah
terikat kontrak kerja yang tak jelas hingga harus terjerat hutang.
Di perkebunan (onderneming), para
buruh tersebut dipekerjakan di bawah pengawasan mandor yang bertanggung-jawab.
Para mandor ini mendapatkan upah sebesar 7,5% dari hasil kelompok upah para
koeli yang dipimpinnya. Pada masa itu, yang paling berpengaruh dan paling
berkuasa atas para buruh adalah para
atasan langsungnya yaitu para mandor dan mandor kepala, mereka ini yang paling
sering melakukan pemerasan terhadap para buruh.
Pemerasan yang dialami oleh para buruh bukan hanya dari pemerasan langsung yang dilakukan oleh mandor dan mandor
kepalanya saja. Para calo dan tuan juragan atau pemilik perkebunan/ondernemer juga secara tak
langsung juga melakukan pemerasan. Hutang dan biaya yang diangggap sebagai
hutang seperti biaya transportasi dari daerah asal para buruh menuju
perkebunan, biaya makan, biaya pengobatan,
biaya tempat tinggal, dengan upahnya yang minim itu seringkali baru dapat
terbayarkan lunas setelah para koeli bekerja selama lebih dari 3 tahun kontrak
kerja.
Sedangkan untuk disektor perkapalan, para buruh Pelabuhan Tanjung Priok direkrut oleh kelompok buruh yang disebut
sebagai animer. Oleh para animer, tenaga kerja itu biasanya didatangkan dari
Jawa Barat. Dari mulut ke mulut, kaum muda di perkampungan Lebak, Banten,
Cianjur, mereka berbondong-bondong menjual tenaganya. Di kampungnya, produksi
pertanian tidak lebih menjanjikan dibanding migrasi ke Tanjung Priok dimana
bisa memperoleh uang dari upah memburuh. Mereka pun akhirnya bekerja sebagai
buruh perkapalan dengan kontrak kerja yang sangat menguntungkan pihak penyalur
dan pemilik industri perkapalan. Hal demikian, juga berlaku untuk buruh yang
bekerja di perkeretapian dan pertambangan.
Konseptualisasi
Skema Labour Market Flexibility
Labour
Market Flexibility (LMF) mulai diterapkan secara massif ketika
terjadi resesi ekonomi dunia baik di Eropa Barat dan AS yang ditandai dengan
rendahnya pertumbuhan ekonomi dan meningkatnya ketersediaan angkatan kerja yang
tak dapat ditampung oleh perusahaan penyedia lapangan pekerjaan. Fleksibilisasi
tenaga kerja berarti upaya penyesuaian penggunaan tenaga kerja terhadap
permintaan dan fluktuasi pasar agar angkatan kerja yang terserap dalam
aktivitas ekonomi di suatu negara. Kemunculan LMF di dunia diperkuat dengan dari
laporan Bank Dunia pada tahun 1995 yang menyatakan kepastian kerja (buruh yang
menjadi pekerja tetap) atau dikenal dengan istilah long-life employment membuat
buruh formal yang mendapat upah tetap hidup di atas penderitaan para penganggur
yang tidak bekerja. Maka dari itu, Bank
Dunia menawarkan satu bentuk solusi untuk kembali menggerakan roda ekonomi dan
meningkatan pertumbuhan ekonomi di negara-negara Eropa Barat dan AS dengan
menghentikan konsep buruh tetap menjadi buruh kontrak. Selain itu, untuk
memperluas jangkauan bagi pelaku bisnis atau pemodal untuk merekrut buruh maka
harus dimaksimalkan kembali peran penyalur tenaga kerja[1].
Tujuan utama
kebijakan fleksibilitas adalah mendorong daya saing korporasi melalui penyingkiran
berbagai hambatan bagi operasi modal. Konsep LMF juga menuntut regulasi
ketenagakerjaan dilonggarkan seperti masalah pemutusan hubungan kerja dan upah.
Selain itu, konsep LMF juga menuntut negara untuk melepaskan campur tangannya
dari mengurus mekanisme pasar tenaga kerja.
LMF merupakan skema
dimana perusahaan dan angkatan kerja bertemu pada satu titik dimana kedua belah
pihak memiliki kebebasan dalam menentukan keputusan untuk bekerjasama tanpa
hambatan sosial politik. Kebebasan dalam tawar menawar yang dilakukan oleh
perusahaan dan buruh ini merupakan bentuk strategi adaptasi masing-masing terhadap
perubahan-perubahan yang terjadi di dalam lingkungannya[2].
Perubahan-perubahan yang dimaksud adalah kebutuhan kualitas tenaga kerja,
jumlah tenaga kerja, efisiensi pengeluaran, dll.
Para pendukung
gagasan LMF memegang prinsip-prinsip pasar tenaga kerja yang diasumsikan akan
menghasilkan dua efek positif secara bersamaan. Pertama, persaingan yang
terbuka dan bebas dari intervensi non-ekonomi di dalam pasar tenaga kerja yang
fleksibel akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang lebih baik. Kedua,
fleksibilisasi pasar kerja akan menghasilkan pemerataan kesempatan kerja yang
pada gilirannya dapat menciptakan perbaikan tingkat pendapatan dan pengurangan
tingkat kemiskinan. Pasar diserahkan sepenuhnya kepada pelaku-pelaku ekonomi untuk
melakukan pertukaran rasional[3].
Perspektif ini didasarkan pada seiring dengan terserapnya angkatan kerja maka
akan secara linier akan mengurangi kemiskinan yang ditandai dengan tingkat
konsumsi atau daya beli karena memiliki pendapatan dari hasil kerjanya. Dengan
demikian, pertumbuhan ekonomi pun mengarah pada tren yang positif.
Di dalam pasar
tenaga kerja, interaksi yang bebas di antara pengguna tenaga kerja dengan
tenaga kerja dipandang sebagai kondisi yang perlu (necessary condition)
bagi pertumbuhan ekonomi. Sistem pasar kerja yang fleksibel, yang memberikan
keleluasaan untuk merealisasikan kebutuhan-kebutuhan tersebut diasumsikan dapat
saling terpenuhi. Hal ini dikarenakan pengusaha akan mendapatkan kemudahan
untuk merekrut dan memberhentikan tenaga kerja sesuai dengan kebutuhannya seiring
dengan perubahan-perubahan yang terjadi.
Perubahan-perubahan
yang dimaksudkan disini adalah tinggi biaya yang harus dikeluarkan oleh
pengusaha dalam bentuk upah karena semakin tingginya angka kebutuhan hidup
layak yang harus dipenuhi oleh buruh. Selain itu, perubahan pangsa pasar yang
tadinya terpusat di pusat kota menjadi kota satelit hingga pedesaan yang
membuat perusahaan harus mampu menjangkau pasar tersebut dengan melakukan
relokasi bisnis ekonominya ke tempat yang lebih dekat dengan pasar. Adanya
program pemerintah setempat untuk melakukan pemerataan pembangunan dengan
membangun sentra ekonomi baru yang diikuti berbagai macam insentif dimulai dari
infrastruktur yang mendukung, upah minimum yang lebih rendah daripada di pusat
kota hingga peraturan-peraturan yang mempermudah relokasi bisnis ekonomi.
Dengan demikian, pemodal atau pengusaha ketika melakukan relokasi bisnis tidak
perlu ragu dan takut karena ketersediaan tenaga kerja yang masih besar, upah
yang rendah, dan infrastruktur yang memadai menjadi perhitungan perusahaan
untuk memindahkan bisnisnya dan ini pun berdampak pada merumahkan buruh dan
karyawan yang bekerja di perusahaan tersebut.
Selain itu,
dalam skema LMF ini juga dibutuhkan adanya pengurangan hinga menghilangkan hambatan
regulasi dan campur tangan negara untuk merekrut dan melakukan PHK dikurangi
atau bahkan ditiadakan. Hal ini ditujukan untuk menimalisir biaya rekrutmen dan
PHK. Model hubungan kerja berdasarkan sistem kontrak dan outsourcing diterapkan dan diperluas cakupannya untuk memungkinkan
fleksibilitas pasar tenaga kerja. Jam kerja dan besaran upah
difleksibilisasikan sesuai dengan siklus bisnis atau fluktuasi permintaan pasar
akan barang atau jasa yang diproduksi.
Fleksibilisasi
seperti ini, menurut Bank Dunia akan menciptakan efisiensi produksi dan
maksimalisasi keuntungan modal sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi. Fleksibilitas
pasar kerja juga menjamin terbukanya peluang para pekerja di sektor informal
untuk berpindah ke sektor formal yang lebih aman dan mensejahterakan[4]. Di
tingkat produksi, kekakuan sistem pasar kerja (labour market rigidity) yang
dinilai tidak mendukung faktor produktivitas kerja karena tingkat kompetisi di
antara pekerja cenderung rendah karena buruh atau pekerja tetap merasa masa
depan sudah terjamin dengan bentuk fasilitas yang diberikan oleh perusahaan[5].
Dengan pasar
kerja yang kaku maka akan membuat biaya tenaga kerja menjadi tidak fleksibel
karena jumlah dan jenis pekerja yang digunakan tidak dapat menyesuaikan perubahan-perubahan
yang mendetail dalam pasar komoditas. Maka dari itu, Bank Dunia dan IMF juga
menjadikan prinsip ini sebagai resep pembangunan sosial ekonomi yang ditawarkan
kepada negara-negara berkembang. Prinsip ini diletakkan dalam satu paket usulan
kebijakan liberalisasi ekonomi serta pemecahan masalah kemiskinan dan
pengangguran sekaligus.
Index
Level of labour Market Rigidity atau mudahnya dikenal dengan jumlah tenaga
kerja yang bekerja dan jumlah tenaga yang dikeluarkan kerap digunakan oleh
Bank Dunia dan IMF sebagai indikator-indikator tingkat keterbukaan suatu negara
terhadap investasi yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi sekaligus indikator
tingkat keterbukaan kesempatan kerja bagi kelompok penganggur dan besarnya
peluang peralihan tenaga kerja dari sektor informal yang miskin ke sektor
formal yang lebih mensejahterakan.[6]
Dengan pendekatan ini, maka setiap negara yang mendapatkan bantuan dari Bank
Dunia dan IMF harus menerapkan prinsip tersebut. Hal ini ditujukan untuk
menarik minat para pengusaha dalam mengembangkan usahanya yang dimana mereka
mudah melakukan rekrutmen dan memutus hubungan kerja sebagai tanda tingginya
tingkat fleksibilitas pasar tenaga kerja. Melalui, pendekatan ini maka akan
sering terjadi rekrutmen besar-besarn dan pemutusan hubungan kerja yang besar
pula. Kondisi ini akan disesuaikan dengan jenis industri dan
perubahan-perubahan detail yang ada dilingkungan sekitar industri itu berjalan.
Dore merumuskan fleksibilitas
sebagai sebuah cara untuk menghilangkan ‘social evil of unemployment’ melalui
penciptaan kesempatan kerja yang ‘atypical’ (pekerja tidak tetap, kontrak
pendek, paruh waktu, ‘agency despatched’) yang mengandung biaya tenaga kerja
rendah sehingga memudahkan perusahaan dalam merekrut tenaga kerja baru.
Kemudahan ini membuat kesempatan kerja menjadi lebih mudah tersedia. Di dalam
pasar kerja yang dualistik dan ditandai oleh tingkat pengangguran yang tinggi
ketersediaan pekerjaan ini menjadi sangat penting artinya bagi pekerja dan
pencari kerja. Oleh karenanya pekerjaan-pekerjaan yang berupah rendah dan tidak
memberi jaminan kerja apapun masih dianggap tersebut lebih baik daripada mereka
menganggur[7].
Berikut gambaran
tentang bagaimana LMF bekerja seperti yang dijelaskan dalam bagan dibawah ini :
Dari bagan
tersebut diatas, pemerintah dengan kekuasaan dalam mengambil kebijakan
mengeluarkan suatu perangkat hukum yang mengatur hubungan antara tenaga kerja
dengan perusahaan. Kebijakan tersebut, lebih condong menguntungkan pihak
perusahaan dengan menetapkan upah mininum yang jauh dari kehidupan layak,
mengedepankan hubungan bipatrit dalam hubungan kerja, menyediakan berbagai
macam insentif yang diterima oleh perusahaan dll. Perusahaan untuk melanjutkan
aktivitas produksi ekonominya membutuhkan tenaga kerja yang disesuaikan dengan
segmentasi dari perusahaan tersebut. Perusahaan dalam mendapatkan tenaga kerja
dapat menggunakan pihak ketiga yakni penyedia tenaga kerja (outsourcing) yang
dimana perusahaan tersebut terlebih dahulu memberikan kriteria yang ditentukan
oleh perusahaan.
Tenaga kerja
yang terjaring baik melalui pihak ketiga maupun secara langsung mendapatkan
kontrak kerja, khusus untuk tenaga kerja yang disalurkan oleh pihak ketiga.
Kontrak kerja yang terjadi yakni antara tenaga kerja dengan pihak ketiga. Dan
ketika perusahaan penguna tenaga tenaga kerja memandang bahwa tenaga kerja yang
selama ini dipekerjakan tidak memiliki produktivitas atau menunjukkan kualitas
kinerja yang membaik. Maka, kontrak kerja tersebut tidak diperpanjang dan
perusahaan akan menjaring tenaga kerja yang baru.
Seiring
berjalannya waktu, terjadi peningkatan biaya hidup yang harus ditanggung oleh
buruh maka akan meningkatkan permintaan kenaikan upah buruh, besarnya biaya
energi listrik dan BBM yang harus dikeluarkan, menurunnya pendapatan omzet
penjualan, memperluas pangsa pasar dll. faktor-fakor inilah yang mendorong perusahaan untuk
mengambil langkah strategis dengan melakukan efisiensi baik dengan mengurangi
jumlah tenaga kerja, meminta insentif tambahan kepada pemerintah, dan bahkan
menutup usahanya dengan memindahkan dan
atau memperluas cakupan wilayah usahanya ke lokasi atau wilayah (baik masih di
dalam negeri maupun ke luar negeri) yang biaya upah yang rendah. Hal ini
ditujukan untuk memastikan modal yang diputar dalam aktivitas ekonomi produksi
masih mampu memberikan laba yang stabil dan bahkan meningkat untuk pengusaha.
Ketika, relokasi
industri atau bahkan mengembangkan usahanya dari satu wilayah ke wilayah
lainnya. Pengusaha pun tidak serta merta langsung memindahkan usahanya. mereka
harus memastikan pemerintah melakukan hal yang sama yakni menyediakan
infrastruktur yang mendukung aktivitas ekonomi, memastikan upah yang lebih
rendah daripada wilayah sebelumnya, dan memberikan berbagai macam insentif
lainnya.
Namun, jika
relokasi ekonomi produksi berpindah dari satu negara ke negara lain. Negara
yang ditinggal oleh pengusaha tentunya akan berdampak pada ketersediaan
lapangan pekerjaan sehingga menurunkan pertumbuhan ekonomi dari negara yang
tinggal pergi dan meningkatkan angka kemiskinan. Maka dari itu, disinilah titik
tolak ketika pemerintah hanya menjadi boneka regulator yang hanya menguntungkan
pengusaha dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang hanya mengutamakan
pertumbuhan ekonomi semata tanpa melihat kondisi kehidupan layak yang harus
dijalani oleh buruh dan angkatan kerja lainnya.
Sistem Buruh Kontrak dan Outsorcing adalah Kebijakan
Pro-Imperialisme, Borjuasi Komperador dan Anti-Buruh
Motif hakiki dari penerapan sistem kerja kontrak,
outsourcing adalah untuk melayani kepentingan imperialisme dan kelas borjuasi
komperador/pengusaha besar dalam negeri yang menjadi perpanjangan tangan dari
industri Imperialis. Pemerintah komprador Republik Indonesia yang diwakili oleh
SBY-budiono berusaha melakukan revisi paket UU no 13 tahun 2003. UU no 13 tahun
2003 yang selama ini telah menjadi alat legal bagi pengusaha dalam hal
penggunaan buruh kontrak dan outsourcing akan segera di revisi. Akan tetapi,
draf revisi tersebut justru memperkuat kedudukan dari penggunaan sistem kerja
kontrak dan outsourcing di Indonesia. Meskipun selama ini rencana tersebut
mendapat perlawanan hebat dari buruh Indonesia di mana ratusan ribu buruh turun
ke jalan untuk menolaknya. Namun perlawanan buruh tersebut belum mampu menggagalkan
rencana revisi UU no 13 tahun 2003 dan hanya berhasil menunda pengesahahannya. Walaupun
demikian di dalam prakteknya hampir di semua perusahaan telah menggunakan buruh
kontrak dan outsourcing tanpa ada batas-batas ketentuan sama sekali sebagaimana
di atur dalam undang-undang tersebut. Hal inilah yang sejak tahun 2003 lalu,
buruh menolak adanya outsourcing dan sistem kerja kontrak.
Bila kita membaca dan memahami UU tersebut secara
seksama, khususnya pada bab IX pasal 58 dan 59 perihal sistem kerja kontrak
dinyatakan secara tegas, bahwa buruh Kontrak -- dalam istilah UU no 13 tahun 2003
disebut sebagai PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu) hanya dapat dilaksanakan
dengan ketentuan: pekerjaan yang sementara sifatnya, pekerjaan yang
diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu paling lama 3 tahun, pekerjaan
musiman; atau pekerjaan yang berhubungan dengan produk dan kegiatan baru, atau
produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan. Dari
pengertian tersebut yakni tidak boleh ada sistem kerja kontrak pada pekerjaan
yang bersifat tetap. Pekerjaan musiman/penyelesaiannya paling lama 3 tahun
disini adalah buruh konstruksi infrasturktur yang dapat diselesaikan paling
lama 3 tahun dan buruh borongan ada ketika perusahaan tersebut memiliki
perjanjian untk mengadakan produksi paling lama 3 tahun alias adanya pemesanan.
Namun kenyataan faktual di lapangan berjalan penuh manipulasi. Majikan dan kaki
tangannya di pabrik yang penuh trik-trik culas, telah mempraktekkan berbagai
manipulasi sekian lama.
Kenyataan ini dapat kita lihat dari hampir keseluruhan
jenis pekerjaan dikenakan sistem kerja kontrak seperti pegawai jasa keuangan
(asuransi, bank, reksadana dll), buruh pabrik, buruh perkebunan, buruh perkapalan,
karyawan jasa (kurir, telekomunikasi, wartawan), pegawai pertambangan, buruh
dan pegawai perdagangan (ekspor impor, mall/supermarket, dealer), pegawai
pelayanan publik (kesehatan swasta, pendidikan swasta), dll. Padahal
jenis-jenis pekerjaan tersebut, perusahaan wajib menjadikan setiap buruh dan
karyawannya sebagai buruh dan karyawan tetap pasca masa percobaan/pelatihan.
Namun, hampir 1 dekade praktek penindasan terhadap rakyat Indonesia dengan
menerapkan sistem kerja kontrak dibiarkan begitu saja oleh pemerintah komperador.
Sementara pada pasal 64-66, mengatur tentang outsourcing
atau jasa percaloan dalam perekrutan tenaga kerja untuk mengerjakan beberapa
bagian produksi non utama yang bisa di-sub-kontrakkan. Outsourcing boleh
dilakukan dengan persyaratan ketat yaitu, dilakukan terpisah dari
kegiatan utama, berupa kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan dan
tidak menghambat proses produksi secara langsung. Contoh pekerjaan yang tidak terkait secara
langsung dengan proses produksi/kegiatan utama secara langsung adalah petugas
kebersihan/cleaning service, security,
call center, cattering dan supir
kantor/pabrik. Tetapi, pada
kenyataanya banyak sekali perusahaan yang mempekerjakan buruh dengan status
outsourcing menempati bagian-bagian yang langsung dengan produksi. Sungguh
kenyataan telah membuka mata dan pikiran kita bahwa begitu culas dan liciknya
para majikan/pengusaha melakukan segala daya untuk kepentingan keserakahannya
mendapat berbagai keuntungan.
Praktek manipulasi penggunaan buruh outsorcing begitu mudah
dilakukan oleh para majikan/penguasaha di pabrik/kantor karena mendapatkan dukungan
penuh dari para pejabat pemerintah sebagai kapitalis birokrat yang merupakan
bermental korup. Tidak ada satupun pihak disnaker baik pusat hingga daerah
tingkat kota-kabupaten mengambil sikap atas keculasan para majikan/pengusaha
tersebut. Bahkan justru mendukungnya, mereka selalu saja berdalih kepada buruh
dengan mengatakan “dari pada tidak bekerja dan banyak pengangguran”, pernyataan
yang sangat manipulatif dan tidak bertanggungjawab sama sekali, karena justru
merekalah yang menjadi sumber dari menjamurnya praktek ini.
Apa kerugian dari sistem kerja kontrak dan outsourcing
yang dialami oleh buruh?
Pertama, tentang sistem kerja kontrak.
Praktek ini merupakan suatu taktik bagi para majikan/pengusaha untuk mengeruk
keuntungan lebih besar di atas penderitaan kaum buruh. Fenomena buruh kontrak
yang semakin massif dalam sepuluh tahun terakhir ini, adalah langkah untuk
melepaskan tanggung jawab perusahaan terhadap buruh. Membahas persoalan buruh
kontrak akan lebih terang bila kita perbandingkan dengan status buruh tetap.
Bagi buruh tetap, perusahaan mempunyai tanggung jawab untuk menjamin berbagai
jaminan sosial seperti jamsostek, THR, bonus, pesangon jika ter-PHK dan, Uang
pensiun, dsb. Sementara bagi buruh/pegawai kontrak, ia hanya mendapatkan upah
yang sesuai dengan UMP saja. Tidak lebih, bahkan mayoritas dari buruh kontrak
dan outsourcing upahnya dibawah ketentuan UMK/UMP. Kita bisa membayangkan, bila
upah buruh di wilayah DKI Jakarta pada tahun 2012 senilai Rp. 1.529.150,- maka hanya dengan upah itulah ia
harus melanjutkan hidupnya baik bagi yang lajang atau yang sudah berkeluarga.
Bila sakit ia tidak mendapat santunan kesehatan. Bila ia di-PHK, ia tidak
mendapat pesangon betapapun ia sudah lebih dari 5 tahun bekerja di pabrik
tersebut dan tentu saja mereka juga tidak akan pernah mendapatkan hak pensiun
selama dia bekerja. Bila ia kritis terhadap kebijakan perusahaan yang merugikan
kaum buruh/pegawai, ia diputus kontraknya atau dipaksa mengundurkan diri
secara sepihak.
Dari pemaparan di atas, sungguh nyata derajat/kadar
penghisapan dan penindasan yang dirasakan oleh buruh. Penghisapan ekonomi dalam
bentuk jam kerja yang lebih panjang, kerja tanpa kepastian status, pemangkasan
hak-hak dasar atas kesehatan, jaminan hari tua, kecelakaan dan kematian;
seluruh syarat-syarat menuju sejahtera seperti membentur dinding tebal.
Demikian juga seiring sejalan dengan penindasan atas hak-hak politik
(demokratis) dalam hal berserikat sebagai alat perjuangan yang semakin
dipangkas. Sudah menjadi ketakutan umum bagi buruh kontrak, bahwa ketika ia
bergabung dengan Serikat Buruh. Pada saat itu pula juga mengancam statusnya
kerjanya. Dengan mempermainkan waktu kontrak sependek mungkin (sekitar 3 bulan,
6 bulan hingga setahun), maka status kepastian kerja sangat rentan di pihak
buruh/pegawai. Besar kemungkinan bagi buruh/pegawai yang bergabung dengan
Serikat Buruh/Pekerja/Pegawai sejati dan terlibat dalam perjuangan akan di-PHK,
dimutasi, dipaksa mundur dan tidak diperpanjang lagi kontrak 3 bulan
berikutnya. Dampak berikutnya yang dirasakan oleh buruh/pegawai kontrak yakni tidak
diperpanjang lagi masa kontraknya, maka akan menambah angka pengangguran.
Bertambahnya angka pengangguran berarti menambah
jumlah kemiskinan dan meningkatnya persoalan sosial lainnya. Inilah hakekat
penghancuran sosial dari sistem kapitalisme berupa buruh/pegawai kontrak ini;
bagaimana ia berlaku sebagai mesin penghasil kemiskinan yang setiap hari
bekerja memproduksi kemiskinan secara massal. Di mana hak-hak buruh atas
kesejahteraan sosial-ekonomi diberangus dan hak-hak politiknya dipangkas.
Dalam praktek buruh kontrak, apa yang dalam teks
perundang-undang hanya diperbolehkan untuk jenis pekerjaan produksi tertentu
(lihat pasal 58-59). Namun dalam lapangan prakteknya pihak perusahaan sudah
menginjak-injak undang-undang yang berlaku tersebut. Sudah menjadi
pengetahuan umum di kalangan buruh, bahwa pekerjaan produksi utama kini sudah
dikerjakan oleh buruh kontrak. Bahkan di banyak pabrik atau kantor mayoritas
buruhn/pegawainya adalah buruh/pegawai kontrak. Artinya, buruh kontrak telah
menjadi fenomena massal yang mengerjakan bagian-bagian produksi utama yang
semestinya dikerjakan oleh buruh tetap. Bila ada pemeriksaan dari Dinas Tenaga
Kerja Pemerintah setempat, mereka disembunyikan atau dipaksa diam agar tidak
ketahuan sebagai buruh yang berstatus kontrak. Dengan suap dan manipulasi,
masalah buruh kontrak mereka sembunyikan di bawah tumpukan uang.
Dalam berbagai keadaan, sistem buruh kontrak juga
menjadi alat pemecah belah di dalam kekuatan buruh. Meskipun sama-sama menjadi
buruh, antara buruh tetap dan buruh kontrak muncul perasaan seolah-olah
memiliki status yang ‘lebih’ dan yang ‘kurang’ di antara mereka. Banyak buruh
tetap yang ‘merasa aman’ kemudian bersikap pasif dalam perjuangan karena tak mau
kehilangan ‘status aman’-nya yang relatif tersebut. Sedangkan di pihak buruh
kontrak merasa cemburu dengan beban pekerjaan yang sama, namun tidak
mendapatkan hak-hak sosial-ekonomi yang dijamin perusahaan. Politik pecah belah
sistem kapitalisme tidak hanya dalam hal pembagian kerja (division of
labour) semata. Namun, sudah berkembang pembagian status seperti ‘buruh
tetap’ dan ‘buruh kontrak’.
Kedua, tentang masalah outsourcing.
Hakekat outsourcing adalah menyerahkan beberapa bagian pekerjaan di luar
produksi utama kepada pihak di luar perusahaan. Bahasa lain dari outsourcing
adalah sub-kontrak/order. Fenomena ini meluas di kalangan industri sektor jasa
seperti perbankan dan niaga, namun kini juga telah berkembang di industri
manufaktur hingga yang paling modern. Persoalan oursourcing lagi-lagi adalah
bentuk penghisapan untuk menumpuk keuntungan lebih besar dan upaya dari
perusahaan untuk lepas tanggung jawab atas perbaikan nasib buruh. Karena jika
buruh bekerja dalam status outsorcing bisa dipastikan dia adalah buruh kontrak.
Gejala global ini tidak bisa lepas dari negeri induk
imperialis seperti Amerika Serikat yang telah lama mempraktekkannya. Banyak
perusahaan IT di AS yang berpindah ke India untuk mencari upah buruh yang lebih
rendah. Beberapa komponen di luar yang inti seperti mesin mereka
sub-kontrakkan. Demikian juga di Eropa dan Jepang, banyak perusahaan otomotif,
elektronik, garmen, sepatu, dsb, yang membikin perakitan sebagian part-part-nya
di negeri-negeri dunia ketiga dengan upah buruh yang murah untuk mendapatkan
sebesar-besarnya keuntungan.
Mari kita mengambil contoh praktek outsourcing ini
agar lebih konkrit pemahaman kita. Sebuah perusahaan besar perbankan seperti Commonwealth
bank dan bank-bank lain ingin merekrut buruh kontrak untuk melayani jasa
keamanan, cleaning service atau catering. Commonwealth segera melakukan
sub-order ke perusahaan outsourcing sebagai penyedia tenaga kerja untuk mencari
buruh yang dibutuhkan. Jadi buruh-buruh tersebut bekerja di Commonwealth dan
untuk Commonwealth, namun terdaftar sebagai buruh perusahaan outsourcing dan
bukan buruhnya Commonwealth. Namun, pada kenyataannya Commonwealth tidak hanya
memanfaatkan jasa outsourcing untuk menyediakan jasa keamanan, kebersihan dan
cattering tapi hingga perekrutan pegawai kantornya.
Apa alasan perusahaan besar seperti Commonwealth
memilih buruh kontrak dengan melakukan praktek outsourcing? Soal ini tidak bisa
lepas dari strategi utama perusahaan-perusahaan besar sekali pun untuk
menangguk untung lebih besar di zaman sekarang:
Pertama, dengan menerapkan outsourcing Commonwealth
menghemat sejumlah pengeluaran untuk membayar THR, bonus tahunan, tunjangan
kesehatan & asuransi kesehatan dan pesangon yang biasa diterima karyawan
tetap. Lantas apakah yayasan/perusahaan outsourcing harus membayar beban itu
semua? Undang-undang no 13 tahun 2003 tidak mengatur masalah tersebut. Artinya
pihak yayasan/perusahaan, dengan sistem pembayaran yang sama sekali tidak
transparan dengan perusahaan yang memberikan order tersebut, memiliki 1000
alasan untuk lepas dari tanggung jawab tersebut. Pihak buruhlah yang paling
dirugikan.
Kedua, strategi ini untuk menghindari tuntutan pekerja
buruh kontrak kepada Commonwealth sebagai perusahaan berlaba besar. Bila
terjadi konflik hubungan kerja, para buruh kontrak tidak bisa menuntut Commonwealth
karena mereka tercatat sebagai buruh kontrak yang dipekerjakan oleh pihak yayasan/perusahaan
outsourcing. Mereka tidak tercatat sebagai buruh HSBC. Inilah bentuk pengalihan
tanggung jawab oleh perusahaan dengan super profit sekalipun. Mereka semakin
tidak adil, tidak punya malu dan tidak bisa menutupi motif kerakusannya
sendiri.
Yayasan/perusahaan outsourcing dengan demikian berlaku
sebagai parasit yang mencari keuntungan dari keringat buruh-buruh kontrak yang
dibikin tidak jelas nasibnya. Isi otak dari perusahaan besar adalah untung,
untung dan untung. Demikian juga isi otak dari para pengelola yayasan/perusahaan
outsourcing hanya untuk mengejar untung. Di balik penimbunan untung besar
tersebut, ada jutaan buruh yang hidupnya menjadi sapi perahan. Di tengah
kondisi jumlah pengangguran yang besar seperti sekarang ini, mereka memiliki
alasan untuk hidup sebagai parasit. Seorang buruh untuk bisa bekerja selama 6
bulan – 1 tahun harus merogoh kocek antara 1 juta hingga 3 juta rupiah.
Sejumlah uang yang tidak sedikit bagi kocek kelas buruh yang hidupnya pas-pasan.
Adapula yayasan outsourcing yang masih melakukan pungutan setiap bulan dengan
kisara Rp. 200.000 hingga Rp. 300.000 kepada si buruh setelah mereka bekerja,
biasanya pungutan ini dilakukan selama dia dipekerjakan, Inilah ironi
yang pahit. Untuk dihisap pun kaum buruh harus membayar.
Fenomena ini juga terjadi di perusahaan di daerah
Jakarta Barat, perusahaan yang memproduksi segala macam kaleng minuman dengan
merk terkenal seperti Coca cola, Pocari, Bir Bintang, minuman cap kaki
tiga, dll, telah memperkerjakan buruhnya dengan status kontrak tidak
kurang dari 1300 buruh dari total buruh sekitar 2300 orang, mereka untuk dapat
bekerja di perusahaan ini harus melaluli yayasan/perusahaan Outsourcing dengan
membayar Rp. 1.000.000,- s/d Rp. 1.200.000,- untuk sekali kontrak dengan masa
kontrak 6 bulan. Jika perusahaan memperpanjang kontrak kerja maka mereka harus
membanyar dengan jumlah yang sama demikian seterusnya. Banyak pemilik yayasan/perusahaan
outsourcing ini dari elite-elite pemerintah lokal/kapitalis birokrat yang
bermental korup seperti DPRD, Kepala dinas dan jajarannya dll. Mereka bekerja
sama dengan borjuis-borjuis asing dan domestik untuk menghisap kaum buruh
Indonesia, Inilah hakekat kelas komprador dari para kapitalis birokrat di Republik
ini. Tetapi, tidak sedikit pula yayasan/perusahaan yang di miliki oleh para
pimpinan dan mantan pimpinan serikat buruh yang telah mengkhianati perjuangan
buruh.
Krisis ekonomi memang terus mencekik kehidupan rakyat
luas seperti yang menimpa buruh dan petani; namun hidup di atas penderitaan
massal tersebut kelas komprador dan tuannya, yakni borjuis-borjuis besar di
negeri imperialis yang bergelimang kemewahan.
Demikianlah pembedahan kita tentang sepotong kebijakan
bernama sistem kerja buruh kontrak dan outsourcing serta dampaknya bagi
kehidupan kelas buruh di Indonesia. Kita bisa membayangkan masih terdapat
ratusan kebijakan yang kini diterapkan di berbagai sektor lainnya. Kita bisa
membayangkan ratusan juta nasib rakyat yang menjadi korban dari sistem
kapitalisme yang makin usang dan barbar ini. Berbagai kebijakan reaksioner ini
juga menjadi trend di seluruh dunia, sebagaimana imperialisme yang mengangkangi
planet bumi ini telah membawakan semua sebagai kabar buruk bagi kelas buruh di
seluruh dunia.
Beberapa Praktek Umum Yang Dilakukan Oleh Majikan/Pengusaha
Dalam Menerapkan Buruh Kontrak
Banyak majikan/perusahaan yang awalnya mempekerjakan
buruh tanpa melalui perjanjian kerja, bahkan buruh hanya menggunakan KTP untuk
melamar kerja tetapi setelah buruh bekerja 3 bulan atau lebih majikan/pengusaha
memanggil si buruh untuk menandatangani perjanjian kerja dengan alasan di
lakukan perpanjangan kontrak. Kontrak tersebut biasanya dalam bahasa asing
(bagi perusahaan asing) dan sering pula kontrak hanya atas dasar persetujuan
secara lisan. Padahal dalam Pasal 57 ayat 1 Perjanjian kerja untuk waktu
tertentu dibuat secara tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia dan
huruf latin. Dan dalam pasal 2 Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang
dibuat tidak tertulis bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dinyatakan sebagai perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu.
Dengan kata lain menjadi buruh tetap.
Praktek lain yang di lakukan oleh majikan/pengusaha
dalam mempekerjakan buruh kontrak, sebelumnya di berlakukan masa percobaan. Perjanjian
kerja waktu tertentu tidak di bolehkan adanya masa percobaan selama 3 bulan,
setelah itu majikan memanggil untuk membuat perjanjian kerja/kontrak.
Sebagaimana dalam Pasal 58 ayat 1 Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak
dapat mensyaratkan adanya masa percobaan kerja. Dan dalam ayat 2 : dalam hal disyaratkan masa percobaan kerja dalam perjanjian kerja
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), masa percobaan kerja yang disyaratkan batal
demi hukum. Dengan kata lain tidak berlaku kontraknya. Hal
inilah yang sering kali menjadi hambatan bagi buruh yang dirugikan oleh perusahaan
ketika mengambil jalur hukum untuk menuntut keadilan karena ketiadaan kontrak
yang berlaku secara hukum.
Selain dua praktek diatas tidak sedikit
pengusaha yang melakukan perpanjangan kontrak hingga lebih satu kali bahkan
tidak sedikit buruh yang menandatangani kontrak hingga puluhan kali yang
kemudian si buruh tetap menjadi buruh kontrak meskipun masa kerja telah
melebihi 3 tahun. Padahal dalam pasal 59 ayat 4 “Perjanjian kerja
untuk waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat
diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu)
kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun”. Disinilah sering
kali, bagi buruh atau pegawai dirugikan ketika pabrik atau perusahaannya tutup
dan atau buruh/pegawai sakit/mengalami kecelakaan kerja. Mereka tidak dapat
menuntut hak-haknya seperti pesangon atau pun asuransi pekerjaan yang harus
dibayarkan oleh perusahaan karena status mereka masih buruh/pegawai kontrak.
Padahal, mereka seharusnya menjadi buruh/pegawai tetap dengan hak-haknya penuh.
Masalah lain yang sering di langgar oleh pengusaha
adalah dalam melakukan perpanjangan kontrak kerap melebihi waktu berakhirnya
masa kontrak sebelumnya. Sedangkan dalam ketentuan pasal 59 ayat 5 “Pengusaha
yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu tertentu tersebut, paling
lama 7 (tujuh) hari sebelum perjanjian kerja waktu tertentu berakhir telah
memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada pekerja/buruh yang
bersangkutan”.
Praktek lain yang saat ini marak terjadi adalah, para
majikan/pengusaha yang telah menggunakan buruh berstatus tetap. Mereka berupaya
menerapkan trik-trik culas dengan alasan sepi order mereka meliburkan sementara
buruhnya di beberapa bagian atau seluruhnya beberapa bulan. Ketika meliburkan
ada majikan yang membayar upah buruh yang di liburkan tetapi tidak sedikit dan
bahkan mayoritas majikan tidak membayar buruhnya ketika meliburkan. Setelah
beberapa bulan mereka meliburkan maka si majikan kemudian memanggil dan
menyampaikan perusahaan tidak lagi sanggup untuk beroperasi, maka menawarkan
buruh untuk di PHK dengan pesangon alakadarnya/tidak sesuai dengan ketentuan.
Tetapi, setelah berhasil melakukan PHK mereka kemudian menerima kembali buruh
baru dengan status kontrak.
Fenomena terbaru yang berkembang saat ini adalah
semakin banyak pengusaha dengan kedok memberikan sarana pendidikan dan
pelatihan mereka mendirikan Pusat Pelatihan jika di pabrik, management trainee jika di kantor.
Mereka merekrut tenaga kerja dengan tidak membayar upah sesuai dengan ketentuan
yang berlaku. Buruh/pegawai tersebut dipekerjakan sebagaimana layaknya buruh/pegawai
biasa yang juga menghasilkan barang produksi atau melakukan aktivitas ekonomi
lainnya. Banyak buruh yang salah dalam memandang karena seolah-olah perusahaan
baik dengan memberikan sarana pendidikan dan pelatihan gratis. Padahal jika
kita pahami lebih dalam maka akan terkuaklah keculasan para pengusaha tersebut.
Mereka sejatinya menghindari tenaga kerja buruh/pegawai baru dengan status masa
percobaan/training. Sebab, apabila buruh/pegawai yang sudah mampu bekerja
dengan baik di Pusat Pelatihan tersebut maka mereka akan melakukan rekruetmen
dengan status ikatan dinas dengan masa kerja 3-5 tahun. Padahal mereka bekerja
dengan status buruh kontrak dengan masa kerja yang sangat panjang dan menindas
buruh mereka di kontrak sampai dengan 5 tahun. Apabila belum selesai masa
kontrak/ikatan dinas buruh ingin keluar dari perusahaan maka mereka diberikan
denda sebanyak biaya pendidikan dan pelatihan perusahaan. Jika kita memeriksa
ketentuan perundang-undangan disitu dijelaskan didalam pasal 58 (1) “Perjanjian
kerja untuk waktu tertentu tidak dapat mensyaratkan adanya masa percobaan
kerja”. (2) Dalam hal disyaratkan masa percobaan kerja dalam perjanjian kerja
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), masa percobaan kerja yang disyaratkan
batal demi hukum.
Salam sejahtera
Semoga Bermanfaat
[1] Workers in An
Integrating World (http://www.worldbank.org/html/prddr/trans/ja95/augar6. html) diakses
pada tanggal 20 Agustus 2006
[2] Meulders,
Danièl & Wilkin, Luc. 1991. “Labour Market Flexibility: Critical
Introduction to the Analysis of
a
Concept”. in A Discussion Paper on Labour Market Flexibility. ILOIILS.
[3] Rapley, John.
1997. Understandng Development : Theory and Practice in the Third World.
London: UCL
Press.
[4]
World
Bank. 2005. Doing Business in 2005, Removing Obstacles to Growth.
Washington: IBRD/ World
Bank.
[5] World Bank. 2006. Doing
Business in 2006, Creating Jobs. Washington: IBRD/ the World Bank.
[6]
Bernabè
& Krstić. 2005. “Labor productivity and Access to Markets Matter for
ProPoor Growth: The 1990s in Burkina Faso and Vietnam” A Paper prepared for
OPPG, DFID, German Dev.Policis and the World Bank.
[7]
Dore,
Ronald. 2003. “New Forms and Meaning of Work in an Increasingly Globalized
World” A Paper.
International
Institute for Labour Studies, ILO Social Policy Lectures, Tokyo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar