Oleh: Harry Kusuma*
Abstract
"Pendidikan menjadi salah satu syarat sekaligus indikator maju atau terbelakangnya suatu negara. Dengan melihat kondisi umum pendidikan suatu negara, atau dalam hal ini Indonesia. Kita dapat melihat bagaimana proyeksi dan persoalan umum yang akan dan sedang dihadapi. Maka, Pemuda sebagai salah satu entitas yang terbesar dan penggerak suatu negara, tentunya harus dilihat kualitas yang dimilikinya dengan mengetahui pendidikan yang dienyamnya"
Keyword : Pendidikan, Pemuda, Anggaran, Solusi
Indonesia yang sebagai negara besar dapat kita
ketahui dengan jumlah penduduk yang mencapai lebih dari 235 juta jiwa. Dari 235
juta jiwa, diantaranya terdapat golongan pemuda yang berjumlah 64 juta jiwa
lebih (BPS, 2010). Dengan melihat kondisi tenaga kerja kita yang cukup besar,
tentunya negeri ini memiliki potensi untuk mengarah pada hal yang lebih positif
dan konstruktif. Pastinya hal ini didukung dengan tersedia sarana dan prasarana
seperti dalam bidang pendidikan yang cukup mumpuni untuk membentuk karakter
pemuda Indonesia lebih produktif.
Selain didukung dengan jumlah pemuda yang
potensial dari segi jumlah, Indonesia juga memiliki kekayaan alam yang melimpah
ruah baik dalam bidang ektraktif atau pertambangan, kehutanan, pertanian,
perkebunan dan kelautan. Hasil dari pengolahan kekayaan alam tersebut menjadi
modal bagi negeri untuk membangun pemuda Indonesia yang memiliki kemampuan dan
keahlian diberbagai bidang. Sebagai usaha memanfaatkan dan mengolah sumber daya
alam yang dimiliki oleh negeri ini sudah seharusnya didukung oleh kualitas
pemuda Indonesia.
Namun, jika berkaca dengan kondisi pemuda
Indonesia yang sebagian besar lulusan SMA sederajat. Hal ini dapat kita ketahui
dengan rendahnya pemuda Indonesia yang merupakan lulusan diploma dan sarjana
hanya sebesar 7,8 juta jiwa (BPS, 2010). Selain itu, hingga hari ini setiap
tahun hanya 18% siswa lulusan SMA sederajat yang melanjutkan ke jenjang
perguruan tinggi. Hal ini tergambar dengan jumlah mahasiswa di Indonesia yang
hanya mencapai 4,7 juta jiwa saja. Padahal pemuda Indonesia berdasarkan usia
yang seharusnya mengenyam perguruan tinggi sebesar 51 juta jiwa lebih (BPS,
2010).
Dengan melihat akses pendidikan yang masih
melahirkan gap yang sangat besar antara lulusan SMA yang mampu
melanjutkan hingga pendidikan tinggi dengan yang tidak mampu melanjutkan ke
pendidikan tinggi. Kenyataan sosial ini merupakan persoalan negeri ini untuk segera
dipecahkan oleh pemerintah. Hal ini dikarenakan perkembangan dan kemajuan suatu
bangsa berbanding lurus dengan kualitas pendidikan yang diselenggarakan oleh
suatu negara. Maka untuk menciptakan suatu pendidikan yang berkualitas. Sudah
barang tentu memiliki syarat-syarat untuk mewujudkan hal tersebut.
Syarat-syarat tersebut diantaranya tersedia anggaran untuk pendidikan yang
digunakan meningkatkan akses pendidikan, menyediakan sarana dan prasarana yang
mendukung pendidikan serta membiayai kebutuhan operasional lainnya. Selain
anggaran untuk pendidikan, juga dibutuhkan suatu paradigma dan orientasi
pendidikan yang tergambar dari kurikulum pendidikan itu sendiri. Untuk
mendukung suatu paradigma dan orientasi pendidikan yang mampu menciptakan output
pendidikan yang berkualitas tentunya harus didukung dengan adanya tenaga
pendidik yang kompeten.
Berbicara anggaran untuk pendidikan, di Indonesia sendiri belum
memiliki suatu pemahaman bersama antara masyarakat dengan pemerintah terkait
penganggaran untuk pendidikan. Ketidaksepahamanan ini dapat kita ketahui dengan
pandangan bahwa gaji dan tunjangan untuk tenaga pendidik dan tenaga
kependidikan haruslah dipisahkan dalam anggaran pendidikan sedangkan pemerintah
memasukan gaji dan tunjangan kedalam pos anggaran pendidikan. Dengan berkaca
kenyataan sosial saat ini, pos pengeluaran dari anggaran pendidikan lebih besar
diserap oleh gaji dan tunjangan tenaga pendidik dan tenaga kependidikan. Hal
ini tentunya mempengaruhi pos anggaran untuk penyediaan sarana dan prasana
serta pos anggaran untuk meningkatkan akses pendidikan bagi pemuda Indonesia.
Hal ini sangat terlihat pada APBN 2010 dana pendidikan yang ditransfer ke
daerah lebih dari Rp 127 Triliyun terserap untuk membayar gaji dan
tunjangan tenaga pendidik dan tenaga kependidikan sebesar Rp 99 Triliyun lebih.
Sedangkan, pada tahun 2011 ini berdasarkan nota keuangan APBN-P tahun 2011 dari
Rp 156 Triliyun sebesar Rp 103 Triliyun dihabiskan untuk membayar gaji tenaga pendidik
dan tenaga kependidikan.
Ketidaksepahaman dalam anggaran pendidikan, juga tergambar dalam
pembagian pos anggaran pendidikan yang disebar selain kementerian pendidikan
nasional dan kementerian agama kepada 13 kementerian dan 4 lembaga. Padahal
berdasarkan UU sisdiknas tahun 2003 dan Putusan MK tahun 2007 bahwa dana
pendidikan yang tercantum dalam anggaran pendidikan merupakan kebutuhan dua
kementerian yakni kementerian pendidikan nasional dan kementerian agama. Hal
ini terlihat pada tahun 2010 13 kementerian dan 4 lembaga total mendapatkan pos
anggaran pendidikan sebesar Rp 7,7 Triliyun. Pada APBN-P tahun 2011, 13
kementerian dan lembaga mendapatkan Rp 6,8 Trilyun. Sedangkan untuk kementerian
pendidikan nasional dan kementerian agama masing-masing pada tahun 2010
mendapatkan dana pendidikan yang merupakan alokasi langsung dari pemerintah
pusat sebesar Rp 62,3 Triliyun dan Rp 26,3 Trilyun. Pada nota keuangan APBN-P
2011, kementerian pendidikan nasional dan kementerian agama masing-masing
mendapatkan Rp 63,5 Triliyun dan Rp 26,2 Triliyun.
Tentunya dengan melihat kondisi pendidikan tidak didukung dengan
anggaran pendidikan yang proposional sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan
pendidikan sangat memiliki pengaruh pada akses pendidikan bagi pemuda Indonesia.
Hal ini tergambar dengan tingginya biaya pendidikan dijenjang pendidikan
menengah dan tinggi. Dengan tingginya biaya pendidikan tersebut telah
menciptakan kondisi pemuda yang bisa dikatakan tidak terdidik. Sehingga
keahlian di berbagait macam bidang untuk membangun negeri ini tidak dapat
dilakukan oleh pemuda. Realita ini tergambar dari output penyelenggaran
pendidikan yang dirasakan oleh negeri ini.
Selain ketersediaan anggaran yang memiliki faktor pendorong untuk
meningkatkan kualitas pemuda Indonesia. Tentunya juga didukung dengan paradigma
dan orientasi kurikulum yang diajarkan dalam jenjang pendidikan menengah dan
pendidikan tinggi. Kurikulum pendidikan yang diselenggarakan di negeri ini
hanya mengedepankan penciptaan tenaga kerja yang siap dipekerjaan di sektor
manapun bukan menciptakan output pendidikan yang menciptakan pemuda yang
memiliki keahlian dalam berbagai bidang. Hal ini sangat terlihat dengan
diarahkannya pemuda untuk menjadi bekerja yang tidak membutuhkan keahlian
khusus atau kemampuan khusus, seperti menjadi sales marketing, pekerja
kasar, pekerja domestik, dan sebagainya. Pekerjaan yang tidak membutuhkan
keahlian tersebut sebagian besar ditujukan kepada pemuda lulusan pendidikan
menengah. Sedangkan untuk pemuda yang mampu mencapai pendidikan tinggi tidak
diarahkan menjadi tenaga ahli dan terdidik untuk mengembangkan dan memanfaatkan
potensi yang dimiliki oleh negeri ini. Realita sosial ini dapat kita ketahui
dengan adanya lulusan perguruan tinggi di jurusan tertentu bekerja yang tidak sesuai
dengan kompetensinya, misalnya jurusan hukum bekerja sebagai teller bank,
lulusan jurusan pertanian bekerja sebagai pegawai administrasi dan masih banyak
contoh lainnya. Padahal ukuran dari keberhasilan dari output pendidikan
dapat dilihat sejauh mana kompetensi yang dimiliki oleh pemuda dapat digunakan
secara maksimal dalam rangka partisipasi pembangunan negeri ini.
Dengan melihat kenyataan sosial yang terjadi dimasyarakat, adanya
kesalahan dalam menetapkan dan menerapkan paradigma serta orientasi pendidikan
yang tergambar dari kurikulum yang diberikan kepada pemuda Indonesia. Hal ini
dikarenakan pemuda yang memiliki potensi dan kemampuan untuk memanfaatkan serta
mengelola kekayaan alam Indonesia tidak mampu difasilitasi oleh pemerintah. Hal
ini tergambar dengan tidak tersedia lapangan pekerjaan yang disesuaikan bagi
pemuda berdasarkan kemampuan dan kompetensinya. Akan tetapi, lapangan pekerjaan
yang ada di Indonesia hanya sebatas pekerjaan yang tidak membutuhkan kemampuan
khusus atau keahlian khusus. Berdasarkan kondisi seperti rendahnya akses
pendidikan bagi pemuda dan tidak tersedia lapangan pekerjaan sesuai dengan
kompetensi pemuda pastinya melahirkan implikasi dalam kehidupan masyarakat di
negeri ini.
Selain itu, peran pendidikan dalam mendorong perubahan
sosial masyarakat Indonesia yang mengarah pada hal yang positif dan konstrukif
pun masih sangat lemah. Fakta-fakta tersebut dapat kita ketahui dengan masihnya
banyak masyarakat yang terjebaknya paradigma konservatif yang membuat arah
gerak masyarakat cenderung statis. Hal ini dapat kita lihat, masih adanya pola
pikir patriaki dalam tubuh masyarakat, minimnya perkembangan teknologi kreasi
anak bangsa, masih dominannya wacana-wacana barat dalam ilmu pengetahuan di
Indonesia, masih kokohnya budaya-budaya yang menghambat perkembangan
masyarakat Indonesia yang lebih baik, dan rendahnya kesadaran masyakarat
dalam menganalisa dan menyimpulkan fenomena-fenomena sosial yang ada di
masyarakat. Dengan melihat
realitas tersebut tentunya menjadi pertanyaan tersendiri kemanakah peran pemuda
Indonesia selama ini. Hal ini dikarenakan minimnya kreativitas yang dihasilkan
oleh pemuda dan tentu hal tersebut sedikit banyak dipengaruhi oleh
penyelenggaraan pendidikan di Indonesia.
Dengan demikian salah satu peran dan tujuan
pendidikan dalam menciptakan masyarakat yang maju dan dinamis masih belum
mampu tercipta di Indonesia. Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi
implikasi bersifat negatif yakni minimnya good will dari pemerintah
untuk terus melakukan pembenahan secara sistemik sistem penyelenggaraan
pendidikan di Indonesia. Lalu, muncul diskriminasi dalam penyelenggaraan
pendidikan secara kelas sosial dan adanya disorientasi dalam sebagian
masyarakat Indonesia yang hanya sebatas memahami bahwa pendidikan merupakan alat
untuk memapankan diri tanpa melihat hakikat dari penyelenggaraan pendidikan.
Serta, tidak adannya korespondensi antara sektor pendidikan dengan sektor
lainnya seperti kesehatan, industri, perdagangan, jasa, pertanian, perbankan
dan sebagai. Padahal secara kasat mata sektor-sektor perekonomian tersebut
membutuhkan tenaga ahli dan terampil untuk membangun perekonomian bangsa
ini. Terakhir, masih kuat dan mengakar budaya bahwa pendidikan menjadi hal yang
tersier dalam kehidupan bermasyarakat dalam tubuh masyarakat itu sendiri.
Dari sekian banyak penjelasan dan pemaparan
diatas, dapat kita ambil beberapa poin penting dalam penyelenggaraan pendidikan
dan peran pemuda di Indonesia yakni : 1) masih belum jelasnya operasionalisasi
penyelenggaraan pendidikan yang sesuai dengan orientasi bangsa Indoensia, 2)
penyelenggaraan pendidikan di Indonesia hanya melahirkan kebudayaan pragmatis dan pengetahuan sensaional semata, 3) masih minimnya kontribusi secara
positif dan konstruktif atas hasil penyelenggaraan pendidikan di Indonesia, 4) tidak adanya
korelasi antara penyelenggaraan pendidikan nasional yang mendorong untuk
melahirkan pemuda yang kreatif dan konstruktif bagi pembangunan bangsa
Indonesia.
Dalam menyikapi kondisi pemuda dan pendidikan saat ini, kami ingin pemerintah ataupun dari kalangan politisi tidak
pernah berargumen atau menyinggung tentang beberapa persoalan pokok yang
menjadi kendala untuk memajukan kualitas pendidikan sebagai upaya
melahirkan pemuda yang berkualitas dan memiliki keahlian yang dapat dipergunakan
untuk masyarakat. Akan tetapi, pemerintah lebih cenderung membuat
program yang tidak ada manfaatnya sama sekali untuk kepentingan dan
kesejahteraan rakyat, terutama di sektor pemuda dan pendidikan. Melihat kondisi pendidikan saat ini,
pemerintah tidak pernah belajar tentang sejarah tentang hubungan pemuda dan pendidika yang memiliki kontribusi positif
dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dengan tidak berjalannya penyelenggaraan pendidikan secara maksimal
untuk pembangunan pemuda di Indonesia yang dilaksanakan oleh negara. Tentunya menjadi
kerugian tersendiri bagi negeri ini. Namun menanggapi soal-soal seperti itu pemerintah
seolah membiarkan permasalahan tersebut terjadi begitu saja dan minimnya upaya untuk membenah struktur pemerintahan yang
melindungi hak dan kewajiban setiap warga negara.
Seharusnya pemerintah menjadi promotor untuk
menggerakkan rakyat guna membenahi kekurangan-kekurangan tersebut. Pemerintah seharusnya lebih mementingkan kepentingan pribadinya dari pada mementingkan kebutuhan
rakyat. Kita bisa cek tentang beberapa program dari pemerintah saat ini,
khususnya kebijakan pemerintah dalam ranah dunia pendidikan, terutama dalam
soal-soal kurikulum yang cendrung mempersulit peserta didik. Kemudian disusul
dengan penyelenggaraan pendidikan yang berdasarkan UU no 20 Tahun 2003 tentang
sistem pendidikan nasional yang mengesampingkan mutu pendidikan. Sistem
tersebut jauh menyimpang dari hakekat pendidikan. Selain itu, harus ada peran
dari masyarakat sipil untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam menciptakan perubahan
sosial yang konsturktif. Peran tersebut dapat terwujud dalam pendidikan non
formal seperti kursus, workshop, yang tujuan untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan dan meningkatkan kesadaran masyarakat dalam mendukung perubahan sosial.
Dengan demikian hal yang aneh dan membingungkan ketika dalam
penyelenggaraan pendidikan di Indonesia masih jauh dari cita-cita bangsa itu
sendiri. Selain itu, penyelenggaraan pendidikan dalam upaya pembangunan pemuda di Indonesia masih jauh dari tujuan pendidikan yang humanis dan emansipatoris.
* Alumnus Mahasiswa Fisip UNSOED 2005 dan sekarang menjadi PNS Kementerian Dalam Negeri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar