Oleh : Harry Kusuma
Abstraksi
Ketersediaan
lapangan pekerjaan bagi setiap warga negara adalah suatu keharusan yang dijamin
oleh konstitusi NKRI sebagai wujud dari upaya menciptakan kemakmuran dan
kesejahteraan. Besarnya jumlah angkatan kerja selalu berbanding terbalik dengan ketersediaan lapangan
pekerjaan. Hal inilah yang sering ditafsirkan sebagai penyebab pengangguran dan
kemiskinan di berbagai negara yang memiliki penduduk sangat besar seperti
Indonesia. Selain, itu ada faktor lainnya juga memperparah dan mempersempit
ketersediaan lapangan pekerjaan akibat krisis demi krisis yang dialami oleh
negara industri maju yang merupakan sentra ekonomi dunia sehingga membawa efek
domino terhadap perekonomian di Indonesia. Hal inilah yang mendorong berbagai
kalangan untuk menciptakan satu mekanisme dan sistem ketenagakerjaan yang
mumpuni serta mampu mendorong pertumbuhan ekonomi suatu negara. Adapun cara
tersebut, dikenal dengan Labour Market Flexibility (fleksibilitas pasar tenaga
kerja). Mekanisme ini menciptakan suatu kondisi dimana setiap angkatan kerja
memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk mendapatkan pekerjaan. Selain itu,
mekanisme ini juga memperkecil biaya yang harus dikeluarkan oleh pengusaha
dalam merekrut tenaga kerja dan mekanisme ini juga menekankan pada aspek
kualitas tenaga kerja yang diukur dari keterampilan dan pendidikan. Namun,
penerapan mekanisme ini masih penuh dengan kecacatan yang amat parah karena
hanya melahirkan kesejahteraan semu. Melalui tulisan ini, penulis mencoba untuk
menelaah dan mengupas lebih mendalam tentang Labour Martket Flexibility (LMF).
Kata Kunci :
LMF, Intervensi, Outsourcing, Kerja Kontrak, dan Kesejahteraan.
Prolog
Memasuki abad ke-20, kapitalisme telah memasuki tahap
tertinggi yang sering disebut Imperialisme. Ciri-ciri yang
nampak di era Imperialisme ini yakni munculnya perusahaan-perusahaan raksasa
yang melakukan praktek monopoli dan berasal dari negara-negara adidaya seperti
AS dan Eropa Barat yang mampu menembus batas wilayah hingga ke negara-negara
berkembang di Asia, Afrika dan Amerika Selatan. Selain itu, aktivitas perluasan
atau ekspansi perusahaan raksasa ini juga didukung oleh lembaga keuangan/bank
sebagai sumber modal untuk mendukung aktivitas kinerja perusahaan-perusahaan
raksasa tersebut, dan ditandai dengan tinggi perpindahan modal secara
besar-besaran dari negara-negara pusat ekonomi dunia ke negara-negara
berkembangan atau proses ini sering disebut dengan ekspor kapital.
Panah waktu bergerak ke abad ke-21, kita menjadi saksi
hidup dari krisis demi krisis yang menimpa imperialisme yang kian kronis. Akar
dari krisis ini terletak di dalam sistem kapitalisme yang dipraktekan di
negara-negara maju yakni overproduksi barang-barang konsumsi dasar,
barang-barang berteknologi tinggi, persenjataan militer, krisis energi karena
kerakusan mereka sendiri, krisis keuangan (financial) karena praktek manipulasi.
Hal ini merupakan konsekuensi logis dari praktek perebutan pangsa pasar dunia
bagi barang komoditas yang dihasilkan oleh antar kekuatan Imperialisme.
Krisis umum imperialisme pada abad ke-21 ini telah
semakin memperjelas watak mereka yang sesungguhnya; perampok yang rakus dan
barbar, terorisme negara yang getol mengobarkan perang agresi, dan kehancuran
sosial di seluruh dunia. Sistem kapitalisme telah melewati masa-masa
keemasannya. Dunia kapitalis tidak akan mendapati lagi kemunculan negeri-negeri
kesejahteraan (welfare-state) sebagaimana terjadi pada era booming
kemakmuran tahun 1980-an. Hal ini ditandai dengan pemangkasan subsidi sosial,
kesehatan, pendidikan, biaya pensiun, dan menambah usia pensiun sudah nampak
jelas telah terjadi di berbagai negara-negara maju di kawasan Eropa Barat dan
AS yang merupakan ‘kandang’ bagi para imperialis. Tentunya ini menjadi
kenyataan pahit bagi rakyat di tengah kondisi penghidupan yang semakin
dimiskinkan dan disisihkan dari kehidupan sosial yang jauh dari kata layak dan
beradab.
Efek tersebut pun harus dirasakan oleh jutaan rakyat
Indonesia. Indonesia yang merupakan salah satu negeri yang sangat bergantung
pada perekonomian Imperialisme juga merasakan akibat dari krisis umum
imperialisme. Kondisi ditandai dengan kedudukan Indonesia yang dijadikan sebagai
basis sosial bagi Imperialisme melalui pengerukan sumbera daya alam,
eksploitasi ratusan juta angkatan kerja dan menjadikan Indonesia sebagai pasar
atas barang dan jasa yang dihasilkan oleh Imperialis. Namun, untuk menjadikan
Indonesia sebagai basis sosial bagi imperialis. Mereka juga harus menyiapkan
perangkat politik yang menjadi jembatan legitimasi di Indonesia dengan
melakukan berbagai macam intervensi di setiap kebijakan yang dikeluarkan (baca
: rezim komprador (kaki-tangan)). Disinilah peran rezim dalam negeri yang
menjadi kaki tangan Imperialis memainkan perannya dengan mengeluarkan berbagai
macam kebijakan peraturan/perundang-undangan untuk mengeksploitasi kekayaan
alam dan keringat rakyat Indonesia hingga menjadikan rakyat Indonesia sebagai
konsumen.